Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya
"Film road trip dari Indonesia yang mengikuti perjalanan eskapis Rayya dari permasalahan yang sedang dihadapinya, diwarnai dengan pemandangan indah pulau Jawa, dialog-dialog bijak dan puitis, serta makna hidup yang dapat direnungi"
Formula road movie selalu digunakan untuk jenis cerita dimana sang karakter utama mengalami pengalaman baru yang secara signifikan mempengaruhi cara berpikir dan pola pandangnya. Interaksi dengan wing man, bertemu dengan karakter-karakter menarik dan menggugah pikiran selama perjalanan, dan pengalaman kontemplatif yang didapat sepanjang perjalanan. Hal ini akan sangat menarik untuk disimak dan larut bersama cerita yang ada di layar, jika didukung oleh cara bercerita yang baik dan tentu saja, akting yang meyakinkan. Satu lagi film Indonesia karya sutradara dan penulis naskah Viva Westi yang naskahnya ditulis bersama dengan tokoh budayawan Emha Ainun Najib menyuguhkan film yang segar dan berbeda di bioskop Indonesia; Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya.
Rayya adalah superstar nomor satu di Indonesia. Wajah cantiknya terpampang di berbagai media dan di semua sudut kota. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Namun dibalik cahaya besarnya, ternyata Rayya menyimpang kegelapan yang pahit. Kegelapan itu pun hanya terpancar di lingkaran orang-orang terdekatnya, yang membuat Rayya terlihat seperti monster yang labil. Di tengah-tengah rencana pembuatan buku otobiografi, Rayya dan seorang fotografer melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Bali untuk keperluan photo shooting. Arya, fotografer gaek yang konservatif menggantikan fotografer sebelumnya yang diusir Rayya di tengah perjalanan ternyata mampu menjadi "lawan main" Rayya yang labil dan menyimpang dendam terhadap kekasihnya. Berbagi latar belakang yang mirip, Rayya dan Arya tidak hanya menjalani perjalanan fisik, namun juga bersama saling menguatkan dalam perjalanan emosi dan spiritual.
Deretan road movie karya Indonesia memang masih sangat minim. Yang terbaru saja ada di tahun 2006 dengan 3 Hari Untuk Selamanya karya Riri Riza. Beruntung sutradara dan penulis naskah Viva Westi tampak pensiun dengan menggarap film-film horor dan mulai serius menekuni film-film drama yang sealiran dengan "gurunya", Garin Nugroho. Dibintangi oleh aktor aktris bintang yang bersinar di masing-masing generasi, Titi Sjuman dan Tio Pakusodewo, film ini menjadi suguhan segar di tengah-tengah industri perfilman Indonesia yang sedang mencoba merangkak naik dari genre horor-kancut. Jualan utama dari film ini adalah segi estetika yang sangat kental. Dimulai dari poster filmnya, shot-shot pemandangan indah dari Jawa Barat sampai ke Bali, dialog-dialog yang puitis, hingga plot yang kontemplatif dan menyiratkan salah satu permasalahan hidup manusia yang paling kompleks; rekonsiliasi.
Entah apakah dipelopori oleh Laskar Pelangi (2008) atau bukan, namun akhir-akhir ini banyak film-film Indonesia yang terang-terangan "menjual" berbagai pemandangan alam yang indah di bumi nusantara ini. Bagus memang, jika dipadu dan dijahit secara baik dengan jalan cerita yang ada agar tidak terasa hanya sebagai tempelan saja. Dan film ini termasuk yang cukup "rapi" dalam memasukkan pemandangan-pemandangan indah di pulau Jawa dan tidak terkesan terlalu mengekspos scenery shots yang ada. Taktik yang digunakan cukup mudah, dengan plot outdoor photo shoot yang pastinya dilakukan di spot-spot yang "fotogenik". Hasilnya? Penonton dapat duduk santai menikmati cerita manis-pahit yang bergulir di layar sembari mengagumi pemandangan indah. Mengingat film ini banyak menggunakan lokasi-lokasi yang non-turistik, mungkin akan membuat banyak penonton bertanya-tanya dimana lokasi ini sebenarnya.
Kolase pemandangan indah tersebut semakin padu dengan diiringi oleh dialog-dialog yang cenderung puitis yang keluar dari karakter Rayya dan Arya. Awalnya mungkin akan terdengar aneh dan canggung karena rasanya sedikit sekali orang Indonesia yang menggunakan dialog puitis untuk berbicara sehari-hari, apalagi untuk mengungkapkan suatu pikiran dan perasaan. Namun penggunaan dialog-dialog puitis yang konsisten ini lama kelamaan akan menjadi nyaman di telinga. Apalagi dengan latar belakang karakter yang kian lama kian terungkap seiring dengan bertambahnya kilometer perjalanan mereka berdua. Selain itu, banyak hal pula yang dapat dipelajari dan direnungkan dari dialog-dialog bijak yang keluar dari mulut Rayya dan Arya.
Yang menarik adalah bagaimana Viva Westi dan Emha Ainun Najib secara sabar dan perlahan mengupas tabir-tabir karakter dari Rayya dan Arya, lapis demi lapis, hingga ke akhir film. Di awal perjalanan, secara cerdas penonton dibuat untuk dengan mudahnya menempelkan judgement terhadap karakter Rayya yang emosional, labil, dan cenderung egois. Namun sepanjang perjalanan, penonton seakan diajari untuk kalem dan sabar seperti Arya dalam menghadapi labilnya Rayya. Pertemuan mereka dengan karakter-karakter yang ada di sepanjang jalan, membuat Rayya semakin lama semakin mudah untuk membuka diri dan menerima hal-hal baru yang didapatkannya.
Setiap road movie yang menarik adalah pertemuan karakter utama dengan karakter-karakter pendukung di sepanjang jalan. Pertemuan-pertemuan ini seakan kolase singkat dari kehidupan manusia, yang dibuat sangat Indonesia dalam film ini. Simak saja salah satu adegan ketika Rayya yang memberikan uang Rp. 50.000 saat hendak membeli karak dari mbok-mbok tua dan mempersilahkan si mbok untuk mengambil kembalian dari harga karak yang hanya Rp 1.500. Niat baik Rayya tersebut langsung ditolak dengan tegas oleh si mbok, yang ternyata berprinsip bahwa dia sedang bekerja, bukan sedang mengemis.
Kisah asmara yang ditawarkan dalam film ini juga bukanlah kisah romansa pasaran, mengingat tren film romansa remaja yang ada di perfilman Indonesia saat ini. Interaksi antara Rayya dan Arya dengan bentangan perbedaan umur yang cukup jauh, bisa dibilang ada unsur cinta dan bisa juga tidak. Tapi bukan itu unsur yang ingin dikedepankan, melainkan bagaimana interaksi diantara mereka saling mempengaruhi pola pikir dan cara pandang satu sama lain. Kisah asmara yang canggung ini pun akan menjadi menarik ketika mereka berdua terbuka mengenai perasaan terhadap satu dengan yang lain.
Akhir kata, tetaplah percaya kepada kualitas film-film Indonesia tertentu. Tidak semua film-film Indonesia itu dibuat dengan sistem kejar tayang dan asal-asalan. Masih ada film-film Indonesia yang sangat layak tonton, yang memanjakan mata dan juga menghibur hati. Dan film ini adalah salah satunya.
Indonesia | 2012 | Drama | 100 mins | Aspect Ratio 1.85 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 1 Oktober 2012 -
Formula road movie selalu digunakan untuk jenis cerita dimana sang karakter utama mengalami pengalaman baru yang secara signifikan mempengaruhi cara berpikir dan pola pandangnya. Interaksi dengan wing man, bertemu dengan karakter-karakter menarik dan menggugah pikiran selama perjalanan, dan pengalaman kontemplatif yang didapat sepanjang perjalanan. Hal ini akan sangat menarik untuk disimak dan larut bersama cerita yang ada di layar, jika didukung oleh cara bercerita yang baik dan tentu saja, akting yang meyakinkan. Satu lagi film Indonesia karya sutradara dan penulis naskah Viva Westi yang naskahnya ditulis bersama dengan tokoh budayawan Emha Ainun Najib menyuguhkan film yang segar dan berbeda di bioskop Indonesia; Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya.
Rayya adalah superstar nomor satu di Indonesia. Wajah cantiknya terpampang di berbagai media dan di semua sudut kota. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Namun dibalik cahaya besarnya, ternyata Rayya menyimpang kegelapan yang pahit. Kegelapan itu pun hanya terpancar di lingkaran orang-orang terdekatnya, yang membuat Rayya terlihat seperti monster yang labil. Di tengah-tengah rencana pembuatan buku otobiografi, Rayya dan seorang fotografer melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Bali untuk keperluan photo shooting. Arya, fotografer gaek yang konservatif menggantikan fotografer sebelumnya yang diusir Rayya di tengah perjalanan ternyata mampu menjadi "lawan main" Rayya yang labil dan menyimpang dendam terhadap kekasihnya. Berbagi latar belakang yang mirip, Rayya dan Arya tidak hanya menjalani perjalanan fisik, namun juga bersama saling menguatkan dalam perjalanan emosi dan spiritual.
Deretan road movie karya Indonesia memang masih sangat minim. Yang terbaru saja ada di tahun 2006 dengan 3 Hari Untuk Selamanya karya Riri Riza. Beruntung sutradara dan penulis naskah Viva Westi tampak pensiun dengan menggarap film-film horor dan mulai serius menekuni film-film drama yang sealiran dengan "gurunya", Garin Nugroho. Dibintangi oleh aktor aktris bintang yang bersinar di masing-masing generasi, Titi Sjuman dan Tio Pakusodewo, film ini menjadi suguhan segar di tengah-tengah industri perfilman Indonesia yang sedang mencoba merangkak naik dari genre horor-kancut. Jualan utama dari film ini adalah segi estetika yang sangat kental. Dimulai dari poster filmnya, shot-shot pemandangan indah dari Jawa Barat sampai ke Bali, dialog-dialog yang puitis, hingga plot yang kontemplatif dan menyiratkan salah satu permasalahan hidup manusia yang paling kompleks; rekonsiliasi.
Entah apakah dipelopori oleh Laskar Pelangi (2008) atau bukan, namun akhir-akhir ini banyak film-film Indonesia yang terang-terangan "menjual" berbagai pemandangan alam yang indah di bumi nusantara ini. Bagus memang, jika dipadu dan dijahit secara baik dengan jalan cerita yang ada agar tidak terasa hanya sebagai tempelan saja. Dan film ini termasuk yang cukup "rapi" dalam memasukkan pemandangan-pemandangan indah di pulau Jawa dan tidak terkesan terlalu mengekspos scenery shots yang ada. Taktik yang digunakan cukup mudah, dengan plot outdoor photo shoot yang pastinya dilakukan di spot-spot yang "fotogenik". Hasilnya? Penonton dapat duduk santai menikmati cerita manis-pahit yang bergulir di layar sembari mengagumi pemandangan indah. Mengingat film ini banyak menggunakan lokasi-lokasi yang non-turistik, mungkin akan membuat banyak penonton bertanya-tanya dimana lokasi ini sebenarnya.
Kolase pemandangan indah tersebut semakin padu dengan diiringi oleh dialog-dialog yang cenderung puitis yang keluar dari karakter Rayya dan Arya. Awalnya mungkin akan terdengar aneh dan canggung karena rasanya sedikit sekali orang Indonesia yang menggunakan dialog puitis untuk berbicara sehari-hari, apalagi untuk mengungkapkan suatu pikiran dan perasaan. Namun penggunaan dialog-dialog puitis yang konsisten ini lama kelamaan akan menjadi nyaman di telinga. Apalagi dengan latar belakang karakter yang kian lama kian terungkap seiring dengan bertambahnya kilometer perjalanan mereka berdua. Selain itu, banyak hal pula yang dapat dipelajari dan direnungkan dari dialog-dialog bijak yang keluar dari mulut Rayya dan Arya.
Yang menarik adalah bagaimana Viva Westi dan Emha Ainun Najib secara sabar dan perlahan mengupas tabir-tabir karakter dari Rayya dan Arya, lapis demi lapis, hingga ke akhir film. Di awal perjalanan, secara cerdas penonton dibuat untuk dengan mudahnya menempelkan judgement terhadap karakter Rayya yang emosional, labil, dan cenderung egois. Namun sepanjang perjalanan, penonton seakan diajari untuk kalem dan sabar seperti Arya dalam menghadapi labilnya Rayya. Pertemuan mereka dengan karakter-karakter yang ada di sepanjang jalan, membuat Rayya semakin lama semakin mudah untuk membuka diri dan menerima hal-hal baru yang didapatkannya.
Setiap road movie yang menarik adalah pertemuan karakter utama dengan karakter-karakter pendukung di sepanjang jalan. Pertemuan-pertemuan ini seakan kolase singkat dari kehidupan manusia, yang dibuat sangat Indonesia dalam film ini. Simak saja salah satu adegan ketika Rayya yang memberikan uang Rp. 50.000 saat hendak membeli karak dari mbok-mbok tua dan mempersilahkan si mbok untuk mengambil kembalian dari harga karak yang hanya Rp 1.500. Niat baik Rayya tersebut langsung ditolak dengan tegas oleh si mbok, yang ternyata berprinsip bahwa dia sedang bekerja, bukan sedang mengemis.
Kisah asmara yang ditawarkan dalam film ini juga bukanlah kisah romansa pasaran, mengingat tren film romansa remaja yang ada di perfilman Indonesia saat ini. Interaksi antara Rayya dan Arya dengan bentangan perbedaan umur yang cukup jauh, bisa dibilang ada unsur cinta dan bisa juga tidak. Tapi bukan itu unsur yang ingin dikedepankan, melainkan bagaimana interaksi diantara mereka saling mempengaruhi pola pikir dan cara pandang satu sama lain. Kisah asmara yang canggung ini pun akan menjadi menarik ketika mereka berdua terbuka mengenai perasaan terhadap satu dengan yang lain.
Akhir kata, tetaplah percaya kepada kualitas film-film Indonesia tertentu. Tidak semua film-film Indonesia itu dibuat dengan sistem kejar tayang dan asal-asalan. Masih ada film-film Indonesia yang sangat layak tonton, yang memanjakan mata dan juga menghibur hati. Dan film ini adalah salah satunya.
Indonesia | 2012 | Drama | 100 mins | Aspect Ratio 1.85 : 1
Rating?
7 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 1 Oktober 2012 -
Komentar
Posting Komentar