Budi Pekerti - Review
Pertama-tama, ini bukan film nasional pertama yang membahas tentang cyber-bullying dan cancel culture. Sebelumnya sudah ada Like & Share (2022) meski fokusnya lebih ke kekerasan seksual. Tapi Budi Pekerti jadi spesial karena sepanjang filmnya fokus pada isu tersebut, malah lebih jauh mengobrak-abrik norma dan dilematis sosial sebagai efek bola liar dari cyber-bullying dan cancel culture.
Masalah jadi kompleks ketika subjek utama adalah seorang guru BK, sebuah profesi yang sejatinya jadi tolok ukur kompas moral di institusi pendidikan. Menariknya, ada paradoks dalam keluarganya; anak laki-lakinya adalah seorang content creator yang mendapat penghasilan dari setiap karya di media sosial, dan anak perempuannya adalah online seller yang juga mendapat penghasilan dari jualan di daring. Kita diberi gambaran yang nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari; apa yang terjadi pada ibunya di internet, punya efek buruk pula terhadap anak-anaknya yang eksistensinya lebih bisa di dunia maya ketimbang dunia nyata.
Menurut gue, Wregas Bhanuteja sudah bisa diklasifikasikan sebagai sineas prodigy. Talentanya unik dan luar biasa, yang bisa menghasilkan naskah yang solid dan rapat dari berbagai sisi. Senada dengan Penyalin Cahaya, karakter utama dalam Budi Pekerti juga menjadi korban tragis dari penghakiman massa. Benar dialog yang ditulis; perkara benar atau salah itu hanya dari banyak-banyakan mana yang berbicara. Dua film panjangnya juga punya ciri khas sudah jatuh tertimpa tangga. Ada bola liar yang terjadi dari setiap satu titik tragedi. Ada unintended consequence yang meski berniat baik, tapi ternyata bisa berakibat buruk pada diri sendiri dan orang lain.
Kok ya bisa kepikiran bikin adegan makan bakso hangat dibawah guyuran hujan, seakan menggambarkan cinta kasih dan kebersamaan keluarga meski di tengah nestapa. Kok ya bisa kepikiran bikin adegan pengakuan tragis tapi ada selipan komedi, seakan menyeimbangkan kisah tragis dengan penggambaran adegan yang teatrikal dan komikal. Hanya lewat tangan sutradara berbakat yang bisa meramu adegan dan menyusun jalan cerita seperti ini.
Naskah yang luar biasa brilian ini juga didukung dengan arahan sutradara yang nggak main-main. Kita bisa lihat hasil tangan besinya lewat akting dari empat karakter utama kita. Potensi dan talenta terpendam mereka bisa diperas dan dikeluarkan dengan maksimal. Mulai dari range emosi Sha Ine Febriyanti dan Dwi Sasono, sampai akting di luar zona nyaman pada Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina. Mereka berempat bisa mengeluarkan penampilan yang rata, tidak ada yang menonjol atau saling melangkahi. Meski tepuk tangan tetap harus diarahkan pada Sha Ine Febriyanti yang sanggup membawa emosi film ini lewat raut wajah dan matanya.
Visual dan sinematografinya juga luar biasa cantik. Konsisten dengan tema media sosial yang tipikal dengan frame dan bisa dengan mudah kena framing, dalam sinematografinya juga menggunakan frame di dalam frame. Karakter tertentu selalu ditempatkan dalam simetri kotak atau persegi panjang, bisa mulai di antara jeruji pagar atau di antara bingkai jendela. Jelas maksudnya adalah setiap karakter ini terjebak dalam satu bingkai spesifik, padahal kehidupan dan kejadian nyatanya bisa lebih dari itu. Bahwa yang kejadian sebenarnya punya cerita yang lebih besar ketimbang video 2 detik yang tersebar. Siapa kita yang bisa dengan enak memberi stigma?
- sobekan tiket bioskop tanggal 4 November 2023 -
----------------------------------------------------------
review film budi pekerti wregas bhanuteja
review budi pekerti wregas bhanuteja
budi pekerti wregas bhanuteja movie review
budi pekerti wregas bhanuteja film review
resensi film budi pekerti wregas bhanuteja
resensi budi pekerti wregas bhanuteja
ulasan budi pekerti wregas bhanuteja
ulasan film budi pekerti wregas bhanuteja
sinopsis film budi pekerti wregas bhanuteja
sinopsis budi pekerti wregas bhanuteja
cerita budi pekerti wregas bhanuteja
jalan cerita budi pekerti wregas bhanuteja
Komentar
Posting Komentar