Stranger Things - Season 1 Review
Ninety-nine out of a hundred times, the missing kid is with a parent or relative. / What about the other time? The one, what about the one? |
Sembilan puluh sembilan dari seratus kali, anak yang hilang ternyata bersama orang tua atau saudara. Tapi bagaimana dengan yang satu? Sembilan puluh sembilan dari seratus, bagaimana dengan yang satu?
Ketika It (2017) rilis, maka itu sudah menjadi pertanda bahwa gue memang harus mengulas serial Stranger Things yang sudah gue selesaikan tahun lalu. Apalagi Season 2 sudah di depan mata. Tetapi apa hubungannya antara Stranger Things dengan It? Serial Stranger Things memang dibuat sebagai surat cinta terhadap film-film horor tahun 80-an, khususnya film-film karya Steven Spielberg. Konon, kreator The Duffer Brothers memberikan penghormatan tertinggi pada mini seri It yang rilis di televisi tahun 1990. Dengan premis yang paralel (anak-anak bersepeda di kota kecil mencari temannya yang hilang dan berhadapan dengan makhluk lain), sulit untuk tidak menghubungkan Stranger Things dengan It.
Mumpung gue sedang menonton ulang ke-8 episodenya dalam rangka persiapan sebelum Season 2 rilis 27 Oktober 2017 nanti, jadi ulasan ini bisa ditulis dengan baik. Dalam tontonan kedua ini, gue pun banyak menemukan fakta baru, serta masih merasakan emosi yang kurang lebih sama ketika gue menonton pertama kali. Terutama perasaan eerie atau gemas dengan perkembangan setiap karakternya.
Stranger Things berkisah tentang anak-anak berusia 12-13 tahun di sebuah kota kecil pada tahun 1983, yang mencari Will yang hilang tak berbekas. Pencarian Will ini pun berpengaruh pada berbagai karakter yang ada, mulai dari ibunya, kakaknya, seorang polisi lokal, dan terutama ketiga sahabat karib Will. Hal-hal aneh pun mulai terjadi sejak Will hilang, yang tampaknya semuanya saling berhubungan. Mulai dari kemunculan gadis kecil berkekuatan super yang dipanggil Eleven, kemunculan monster di beberapa tempat, hingga laboratorium misterius di pinggir kota.
Satu hal yang harus gue puji pertama kali adalah betapa Stranger Things adalah serial yang memiliki visual yang aduhay cantiknya. Kesan tahun 80-an memang konsisten terjaga, tetapi gabungan antara ide cerita dan sinematografi menjadikan setiap frame dalam serial ini tampak seperti lukisan. Tipikal film yang setiap still photo menjadi sangat indah untuk dilihat, bagaikan hasil fotografi dengan citarasa yang tinggi. Hal kedua adalah pilihan soundtrack dan scoring yang - jelas bertema 80s - sangat sukses menambahkan rasa pada setiap adegan yang diiringi. Scoring-nya yang khas dengan synthesizer sangat enak untuk dinikmati, apalagi didengarkan tanpa perlu melihat adegannya.
Selain itu, Stranger Things sangat kuat dalam pengembangan karakternya. Serial ini sudah memiliki bekal dengan setiap karakter yang sangat kuat dan mudah untuk disukai. Jadi bagaimana pun setiap karakter ini melangkah sudah pasti akan menarik minat dan mengundang rasa penasaran. Ada ketiga karakter utama kita, anak-anak yang selalu menjadi korban bullying di sekolah dan tergolong nerd, mereka sangat lovable! Kemudian ada ibu dari Will yang cenderung panik namun sekaligus mampu menyayat hati, untuk ini pujian harus diarahkan pada Winona Ryder. Aksi polisi Hooper juga sangat seru untuk dinikmati, sebagai satu-satunya yang memberikan atmosfer aksi penuh penyelidikan yang menegangkan. Bintang utamanya jelas Eleven, gadis misterius berkekuatan super yang menjadi persimpangan utama semua jalan cerita dalam serial ini - diperankan oleh aktris cilik berbakat Millie Bobby Brown.
Semua karakter yang sangat kaya ini digerakkan dengan jalan cerita yang terbilang jenius dan sulit untuk ditebak arahnya. Sebuah jalan cerita yang anda pikir sudah ketahuan ke mana arahnya, tapi antisipasi tersebut sia-sia belaka. Pada titik ini, setiap episodenya dari delapan bab bisa dibilang sama kuatnya meski memiliki tujuan dan karakteristik masing-masing.
Yang gue sangat suka adalah bagaimana tiga episode pertama bergerak seakan trilogi film panjang. Mulai dari perkenalan karakter pada Chapter One: The Vanishing of Will Byers, pengenalan konflik pada Chapter Two: The Weirdo on Maple Street, hingga penyelesaian konflik tersebut - meski hanya sementara - pada Chapter Three: Holly, Jolly. Apalagi episode ketiga ini ditutup dengan soundtrack Heroes-nya Peter Gabriel yang sangat powerful - dan terbilang terlalu epik dalam skala film serial.
Sementara itu mulai dari episode keempat hingga kedelapan bergerak layaknya film serial pada umumnya. Lima episode terakhir ini selalu diakhiri dengan adegan hook yang akan membuat anda pasrah untuk otomatis binge-watching ke episode berikutnya. Chapter Four: The Body dan Chapter Five: The Flea and the Acrobat memang penonton akan mengetahui lebih banyak tentang misteri dunia paralel yang disebut dengan Upside Down. Penantian untuk melihat rupa monster yang selama ini menjadi momok pun akan terbayar kontan di Chapter Six: The Monster, di mana penantian tersebut tidak akan sia-sia.
Salah satu hal yang bikin gregetan adalah bagaimana setiap karakter yang diceritakan memiliki penggalan puzzle misteri yang berbeda, yang pastinya akan sangat berguna jika mereka saling bertemu. Layaknya Avengers yang menyatukan semua tokoh protagonis sehingga cerita menjadi lebih menarik, Chapter Seven: The Bathtub menyuguhkan hal tersebut dengan sangat efektif. Season 1 pun ditutup dengan epik dan fantastis dalam Chapter Eight: The Upside Down, yang juga banyak memberikan tribute pada episode-episode awal. Anti-klimaks yang diberikan dalam episode finale ini sangat ramah penonton, dengan sabar dan teliti mengisahkan nasib setiap karakter seusai klimaks yang pecah tersebut. Tidak lupa, memberikan hook kecil nan sopan yang setidaknya bisa membuat gue dengan sabar menunggu Season 2.
Secara keseluruhan, menonton delapan episode ini sangat menyenangkan. Bahkan saking menyenangkannya, nonton kali kedua menjadi sama nikmatnya. Unsur humornya memang tidak selucu It (2017) dengan setiap karakternya yang memiliki tingkat kocaknya sendiri-sendiri. Malah, karakter anak-anak dalam Stranger Things terkesan lebih serius dan sangat tegang dalam setiap kisahnya. Beruntung ada karakter Dustin dengan giginya yang ompong yang mampu meringankan cerita. Namun kisah misterinya sangat adiktif, apalagi dengan gaya bercerita yang sangat perlahan dalam membuka tabir misteri. Serial ini juga tidak condong ke arah horor tipe kaget-kagetan, tetapi lebih pada drama pemecahan misteri yang penuh dengan tanda tanya ketimbang jawaban. Cukup mudah untuk mengikuti serial ini, mengingat durasi yang hanya sekitar 50 menit setiap episodenya dan satu musim yang hanya terdiri dari delapan episode.
USA | Season 1: 8 episodes | 2016 | Drama / Mystery | approx. 50 mins | Aspect Ratio 2.00 : 1
Review Stranger Things Season 2 cek di sini.
Nominated for Outstanding Drama Series, Emmy Awards, 2017
Nominated for Outstanding Supporting Actress in a Drama Series, Millie Bobby Brown, Emmy Awards, 2017
Nominated for Outstanding Supporting Actor in a Drama Series, David Harbour, Emmy Awards, 2017
Nominated for Outstanding Guest Actress in a Drama Series, Shannon Purser, Emmy Awards, 2017
Nominated for Outstanding Directing for a Drama Series, Matt Duffer, "Chapter One: The Vanishing of Will Byers", Emmy Awards, 2017
Nominated for Outstanding Writing for a Drama Series, Matt Duffer, ""Chapter One: The Vanishing of Will Byers", Emmy Awards, 2017
Rating:
- review film stranger things netflix
- review stranger things netflix
- stranger things netflix movie review
- stranger things netflix film review
- resensi film atystranger things ical netflix
- resensi stranger things netflix
- ulasan stranger things netflix
- ulasan film stranger things netflix
- sinopsis film stranger things netflix
- sinopsis stranger things netflix
- cerita stranger things netflix
- jalan cerita stranger things netflix
Komentar
Posting Komentar