Byzantium
"Film drama vampire dengan cerita yang berkelas dan dibalut dengan bahasa gambar yang artistik dan imajinatif"
Dua perempuan misterius yang hubungan antara keduanya terbilang absurd, mencari perlindungan di sebuah kota kecil di pinggir laut. Hidup tidak menetap, seakan menghindari kejaran orang-orang tertentu yang mengincar mereka. Clara (Gemma Arterton) yang berprofesi sebagai wanita tuna susila demi menghidupi mereka berdua, bertemu dengan lelaki kesepian, Noel, dan tinggal di hotelnya - Byzantium. Sementara Eleanor (Saoirse Ronan) masuk kampus terdekat dan bertemu dengan remaja pengidap leukimia, Frank, dan menceritakan rahasia tergelapnya. Ternyata Clara dan Eleanor telah hidup selama 200 tahun dan bertahan hidup dengan meminum darah manusia. Ketika rahasia kelam mereka menyebar ke beberapa orang di kota kecil tersebut, masa lalu pun datang menghampiri mereka dengan konsekuensi yang mematikan.
Gue telah dibuat jatuh cinta pada Byzantium semenjak menonton trailernya yang menjanjikan sebuah film vampire yang dibalut dengan drama yang classy serta sinematografi yang stylish. Perasaan itu pun semakin menjadi-jadi ketika gue menonton film ini di menit-menit awal, yang ternyata film ini adalah adaptasi dari drama panggung berjudul A Vampire Story tahun 2008 yang ditulis - dan diadaptasi ke dalam layar lebar - oleh Moira Buffin (Jane Eyre, Tamara Drewe). Benar saja, ini bukanlah sebuah film aksi yang penuh dengan darah dan jejeritan. Bukan, bukan, bukan! Ini adalah film drama cantik dengan cerita yang penuh makna dan gambar-gambar yang artistik dan imajinatif.
Gue selalu suka dengan film-film hasil adaptasi drama panggung, yang identik dengan dialog-dialog puitis dan penuh makna. Identitas itu pun tampak jelas dalam Byzantium, dimana setiap dialog yang diucapkan oleh para karakternya seakan surreal dan dramatis. Sutradara Neil Jordan (Interview With The Vampire, The Brave One) juga tampak sangat tahu apa yang dilakukannya terhadap film vampire keduanya ini, dengan menerjemahkan naskah drama panggung ke dalam bahasa gambar yang sangat artistik dan imajinatif. Sebuah hal yang sangat terbatas untuk dilakukan di atas panggung teater, namun dapat menjadi seluas mungkin jika diterjemahkan dalam kondisi tiga dimensi.
Cerita yang ditulis oleh Moira Buffin sendiri seakan terinspirasi oleh Let The Right One In (2008)-nya Thomas Alfredson. Ketika Let The Right One In mengangkat kisah vampire berumur 12 tahun yang berjuang mencari pengasuh yang tepat - sesuai dengan kondisi psikologis perkembangannya, maka Byzantium mengangkat tema coming-of-age. Penonton diajak untuk merasakan pula apa yang dirasakan secara kompleks oleh karakter Eleanor yang tetap berusia 16 tahun selama 200 tahun, dan diperankan secara nyaris sempurna oleh Saoirse Ronan. Kondisi psikologis perkembangannya yang mentok pada tahap pencarian identitas diri, namun terlihat jauh lebih bijak dan dewasa dari remaja-remaja "normal" lainnya - jelas karena ia jauh lebih banyak pengalaman dengan hidup selama 2 abad.
Beberapa orang mungkin melihat pace film ini cenderung lambat, bahkan membosankan (ada sekitar 7-8 penonton yang walkout ketika gue menonton film ini). Tapi mungkin ini adalah hal yang sengaja dilakukan oleh pembuat film demi mengajak penonton untuk merasakan bagaimana lambannya menjalani hidup abadi yang getir dan konsekuensi yang harus dibayarnya. Beberapa penonton tersebut mungkin merasa tidak nyaman, tapi justru ketidaknyamanan itu yang juga dialami oleh makhluk abadi ini yang merasa tersesat di dunia dan merasakan ketidakpastian sekaligus kosong.
Pembuat film tampak ingin mendefinisikan berbagai ciri khas dari vampire yang kita kenal selama ini. Tidak ada gigi taring mengerikan, tidak ada pula badan berkilau atau hangus di siang hari. Melainkan kuku jempol yang memanjang ketika siap meminum darah orang dan tidak dapat masuk ke dalam rumah orang jika tidak diundang terlebih dahulu. Film ini jelas menjadi film vampire remaja dengan balutan jauh lebih dewasa ketimbang Twilight Saga. Byzantium memberikan darah segar bagi genre vampire dengan menawarkan jalan cerita yang tepat menyasar pada drama dan psikologis terhadap karakter yang selalu identik dengan kengerian, horor, dan berdarah-darah.
UK / Ireland / USA | 2012 | Arthouse / Drama / Fantasy | 118 min | Aspect Ratio 2.35 : 1
Scene During Credits? TIDAK
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 9 September 2013 -
Dua perempuan misterius yang hubungan antara keduanya terbilang absurd, mencari perlindungan di sebuah kota kecil di pinggir laut. Hidup tidak menetap, seakan menghindari kejaran orang-orang tertentu yang mengincar mereka. Clara (Gemma Arterton) yang berprofesi sebagai wanita tuna susila demi menghidupi mereka berdua, bertemu dengan lelaki kesepian, Noel, dan tinggal di hotelnya - Byzantium. Sementara Eleanor (Saoirse Ronan) masuk kampus terdekat dan bertemu dengan remaja pengidap leukimia, Frank, dan menceritakan rahasia tergelapnya. Ternyata Clara dan Eleanor telah hidup selama 200 tahun dan bertahan hidup dengan meminum darah manusia. Ketika rahasia kelam mereka menyebar ke beberapa orang di kota kecil tersebut, masa lalu pun datang menghampiri mereka dengan konsekuensi yang mematikan.
Gue telah dibuat jatuh cinta pada Byzantium semenjak menonton trailernya yang menjanjikan sebuah film vampire yang dibalut dengan drama yang classy serta sinematografi yang stylish. Perasaan itu pun semakin menjadi-jadi ketika gue menonton film ini di menit-menit awal, yang ternyata film ini adalah adaptasi dari drama panggung berjudul A Vampire Story tahun 2008 yang ditulis - dan diadaptasi ke dalam layar lebar - oleh Moira Buffin (Jane Eyre, Tamara Drewe). Benar saja, ini bukanlah sebuah film aksi yang penuh dengan darah dan jejeritan. Bukan, bukan, bukan! Ini adalah film drama cantik dengan cerita yang penuh makna dan gambar-gambar yang artistik dan imajinatif.
Gue selalu suka dengan film-film hasil adaptasi drama panggung, yang identik dengan dialog-dialog puitis dan penuh makna. Identitas itu pun tampak jelas dalam Byzantium, dimana setiap dialog yang diucapkan oleh para karakternya seakan surreal dan dramatis. Sutradara Neil Jordan (Interview With The Vampire, The Brave One) juga tampak sangat tahu apa yang dilakukannya terhadap film vampire keduanya ini, dengan menerjemahkan naskah drama panggung ke dalam bahasa gambar yang sangat artistik dan imajinatif. Sebuah hal yang sangat terbatas untuk dilakukan di atas panggung teater, namun dapat menjadi seluas mungkin jika diterjemahkan dalam kondisi tiga dimensi.
Cerita yang ditulis oleh Moira Buffin sendiri seakan terinspirasi oleh Let The Right One In (2008)-nya Thomas Alfredson. Ketika Let The Right One In mengangkat kisah vampire berumur 12 tahun yang berjuang mencari pengasuh yang tepat - sesuai dengan kondisi psikologis perkembangannya, maka Byzantium mengangkat tema coming-of-age. Penonton diajak untuk merasakan pula apa yang dirasakan secara kompleks oleh karakter Eleanor yang tetap berusia 16 tahun selama 200 tahun, dan diperankan secara nyaris sempurna oleh Saoirse Ronan. Kondisi psikologis perkembangannya yang mentok pada tahap pencarian identitas diri, namun terlihat jauh lebih bijak dan dewasa dari remaja-remaja "normal" lainnya - jelas karena ia jauh lebih banyak pengalaman dengan hidup selama 2 abad.
Beberapa orang mungkin melihat pace film ini cenderung lambat, bahkan membosankan (ada sekitar 7-8 penonton yang walkout ketika gue menonton film ini). Tapi mungkin ini adalah hal yang sengaja dilakukan oleh pembuat film demi mengajak penonton untuk merasakan bagaimana lambannya menjalani hidup abadi yang getir dan konsekuensi yang harus dibayarnya. Beberapa penonton tersebut mungkin merasa tidak nyaman, tapi justru ketidaknyamanan itu yang juga dialami oleh makhluk abadi ini yang merasa tersesat di dunia dan merasakan ketidakpastian sekaligus kosong.
Pembuat film tampak ingin mendefinisikan berbagai ciri khas dari vampire yang kita kenal selama ini. Tidak ada gigi taring mengerikan, tidak ada pula badan berkilau atau hangus di siang hari. Melainkan kuku jempol yang memanjang ketika siap meminum darah orang dan tidak dapat masuk ke dalam rumah orang jika tidak diundang terlebih dahulu. Film ini jelas menjadi film vampire remaja dengan balutan jauh lebih dewasa ketimbang Twilight Saga. Byzantium memberikan darah segar bagi genre vampire dengan menawarkan jalan cerita yang tepat menyasar pada drama dan psikologis terhadap karakter yang selalu identik dengan kengerian, horor, dan berdarah-darah.
UK / Ireland / USA | 2012 | Arthouse / Drama / Fantasy | 118 min | Aspect Ratio 2.35 : 1
Scene During Credits? TIDAK
Scene After Credits? TIDAK
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 9 September 2013 -
Komentar
Posting Komentar