Modus Anomali
Sebagai salah satu sutradara yang lebih mementingkan idealisme dan kualitas film daripada komersialitas semata, film-film Joko Anwar selalu ditunggu oleh berbagai kalangan. Film-film yang pernah dia garap sebelumnya meraih sukses di dalam dan luar negeri, seperti Janji Joni (2005) dan Pintu Terlarang (2009). Kala / Dead Time (2007) pun tercatat sebagai film noir pertama asal Indonesia. Kini, Joko Anwar pun menulis dan menyutradarai film keempatnya, Modus Anomali.
Seorang pria yang tiba-tiba terbangun dan mengalami amnesia, menemukan dirinya sendirian berada di tengah hutan yang lebat. Dia pun menemukan bahwa istrinya dibunuh secara mengenaskan, dan kedua anaknya menghilang. Hal-hal aneh pun mulai ditemui oleh si pria, khususnya jam alarm yang ditanam di tanah yang berbunyi pada waktu tertentu seakan menandakan sesuatu. Selain berusaha untuk menemukan kedua anaknya, dia pun harus bertahan hidup dari kejaran si pembunuh sadis.
Joko Anwar memang gila, dan cerdas! Plot cerita ini cukup sederhana dan (so-called) twist yang ada di akhir film pun dieksekusi dengan baik, tapi detil petunjuk yang ada benar-benar membuat penonton berpikir keras. Selain itu, cara bercerita dalam film ini benar-benar unik; kamera mengikuti karakter utama kita sepanjang film seakan-akan penonton sedang bersama-sama dengan Rio Dewanto. Namun sayang, entah kenapa cerita menegangkan ini kurang mampu secara konsisten menyedot emosi penonton dari awal hingga akhir film. Tapi secara teknis pembuatan, film ini unggul di segala aspek.
Ide cerita model "cabin in the woods" memang telah digunakan di berbagai film thriller. Eksekusi dan dinamika jalan cerita pun formulatif. Namun Joko Anwar merombak formula tersebut menjadi sebuah jalinan cerita yang akan menyuntikkan beberapa detil adegan dan jalan cerita ke dalam otak penonton untuk waktu beberapa hari setelah menonton film ini di bioskop. Ending film ini akan membagi penonton setidaknya menjadi dua kelompok besar, namun dengan konsekuensi yang sama; kepikiran sampai pulang! Kelompok pertama adalah penonton yang berusaha keras untuk memahami apa yang terjadi di layar, khususnya di bagian akhir film. Kelompok kedua adalah penonton yang dengan mudah memahami, bahkan menebak dari pertengahan film, untuk kemudian teringat akan detil-detil petunjuk sepanjang film yang dengan cerdasnya mendukung modus anomali yang terjadi sepanjang film. Konsekuensi tidak langsung yang terjadi adalah, tidak sabar ingin menonton film ini untuk kedua kalinya hanya untuk memastikan dugaan-dugaan yang ada dalam kepala.
Selain ide cerita yang brilian, Joko telah menelurkan suatu cara bercerita yang baru dan benar-benar berbeda, setidaknya diantara film-film Indonesia. Menurut Joko, ia ingin membuat film yang bercerita dengan character-driven. Penonton dipaksa untuk terus mengikuti setiap tingkah laku dan gerakan si karakter utama. Kamera pun tidak pernah lepas dari karakter yang dimainkan dengan sangat baik oleh the one-man show Rio Dewanto, dan penonton dipaksa untuk tidak melihat ke arah lain selain karakter utama kita. Trik ini cukup sukses untuk membangkitkan rasa penasaran dari penonton terhadap apa yang sedang dialami, dilihat, dirasakan, dan dipikirkan oleh sang karakter utama. Bahkan beberapa one-take shot yang ada dalam film, dimana yang terpanjang adalah 12 menit, dieksekusi secara brilian. Hasilnya adalah seakan-akan kamera bereaksi terhadap Rio dan juga Rio bereaksi terhadap kamera.
Hal ini didukung oleh segi teknis yang mumpuni. Walaupun dibuat dengan budget terbatas dan hanya dalam waktu 10 hari, namun Joko dan kru filmnya telah membuat sebuah film low-budget terlihat sebagai film kelas atas. Teknik pengambilan gambar dengan metode hand-held sangat cocok dalam mendukung emosi yang dirasakan oleh para karakter yang ada di layar. Jika The Raid (2011) terkenal dengan teknik sinematografi sederhana ketika kamera mengikuti karakter yang meloncat ke lantai bawah lewat lantai yang berlubang, maka Director of Photography Gunnar Nimpuno membawa teknik tersebut ke level yang lebih tinggi. Selain camera work yang menawan dengan shot-shot hutan yang indah sekaligus mencekam, acungan jempol juga perlu diarahkan pada Music Director Aghi Narottama yang bekerja sama dengan Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro. Score yang digunakan benar-benar unik; merupakan remix dari suara-suara macam mesin pembuat kopi, terali besi, dan bahkan suara toilet. Hasilnya, benar-benar menggambarkan suasana mencekam yang ada sepanjang cerita.
Namun bukan berarti film ini tidak lepas dari kekurangan. Jika anda adalah penonton yang perhatian pada detil, anda akan menemukan beberapa goofs yang terjadi di layar. Goofs yang terjadi ini memang bisa dimaklumi, namun cukup vital mengingat Joko juga cukup detil menaruh setiap petunjuk yang berhubungan dengan jalan cerita. Selain itu, goofs yang ada juga cukup noticeable mengingat gaya pengambilan gambar yang menawarkan penonton untuk menyapu setiap sudut layar. Selain itu, ada satu hal vital yang sayangnya tidak timbul pada layar; emosi. Menonton film di bioskop adalah sebuah kesempatan untuk keluar dari kehidupan sehari-hari dan masuk dalam alternate-universe yang ada di layar. Sayangnya, entah dengan penonton lain, saya bersusah payah untuk memasuki "dunia" yang dijalani oleh Rio Dewanto. Entah mengapa, namun setiap adegan saya hanya dibuat pasrah dengan apa yang terjadi di layar dan menikmati petualangan mencekam yang ada.
Biasanya, sebuah film yang memiliki plot-twist memiliki "revealing moment" yang cukup singkat di akhir film. Namun Joko memilih menggunakan momen itu cukup panjang dan lama. Mungkin pilihan ini digunakan untuk mencari aman, agar filmnya dapat dipahami oleh penonton sebanyak-banyaknya. Saya sendiri juga tidak dapat menemukan alternatif lain yang membuat revealing moment tersebut terlihat classy dan sederhana. Namun bagi sebagian kecil penonton yang telah terbiasa dengan film thriller, sepertiga akhir film yang ada akan terasa lambat dan terlalu "terbuka".
Akhir kata, Joko Anwar telah membuat sebuah film Indonesia dengan rasa yang berbeda. Ide cerita yang orisinil, konsep cerita yang unik, serta teknis yang brilian. Dengan bagaimana Joko Anwar mengedepankan cinematic experience dalam filmnya kali ini, maka akan amat disayangkan jika melewatkan film lokal berkualitas ini di layar lebar. Jika masih belum bisa menjawab setiap pertanyaan, maka rasanya tidak cukup menonton film ini hanya dengan sekali. Atau kalau perlu, lakukan riset dengan melihat film-film Joko sebelumnya. Jadi, enjoy the ride, and let you own mindf*ck begins :D
Indonesia | Thriller | 90 mins | Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 26 April 2012 -
Seorang pria yang tiba-tiba terbangun dan mengalami amnesia, menemukan dirinya sendirian berada di tengah hutan yang lebat. Dia pun menemukan bahwa istrinya dibunuh secara mengenaskan, dan kedua anaknya menghilang. Hal-hal aneh pun mulai ditemui oleh si pria, khususnya jam alarm yang ditanam di tanah yang berbunyi pada waktu tertentu seakan menandakan sesuatu. Selain berusaha untuk menemukan kedua anaknya, dia pun harus bertahan hidup dari kejaran si pembunuh sadis.
Joko Anwar memang gila, dan cerdas! Plot cerita ini cukup sederhana dan (so-called) twist yang ada di akhir film pun dieksekusi dengan baik, tapi detil petunjuk yang ada benar-benar membuat penonton berpikir keras. Selain itu, cara bercerita dalam film ini benar-benar unik; kamera mengikuti karakter utama kita sepanjang film seakan-akan penonton sedang bersama-sama dengan Rio Dewanto. Namun sayang, entah kenapa cerita menegangkan ini kurang mampu secara konsisten menyedot emosi penonton dari awal hingga akhir film. Tapi secara teknis pembuatan, film ini unggul di segala aspek.
Ide cerita model "cabin in the woods" memang telah digunakan di berbagai film thriller. Eksekusi dan dinamika jalan cerita pun formulatif. Namun Joko Anwar merombak formula tersebut menjadi sebuah jalinan cerita yang akan menyuntikkan beberapa detil adegan dan jalan cerita ke dalam otak penonton untuk waktu beberapa hari setelah menonton film ini di bioskop. Ending film ini akan membagi penonton setidaknya menjadi dua kelompok besar, namun dengan konsekuensi yang sama; kepikiran sampai pulang! Kelompok pertama adalah penonton yang berusaha keras untuk memahami apa yang terjadi di layar, khususnya di bagian akhir film. Kelompok kedua adalah penonton yang dengan mudah memahami, bahkan menebak dari pertengahan film, untuk kemudian teringat akan detil-detil petunjuk sepanjang film yang dengan cerdasnya mendukung modus anomali yang terjadi sepanjang film. Konsekuensi tidak langsung yang terjadi adalah, tidak sabar ingin menonton film ini untuk kedua kalinya hanya untuk memastikan dugaan-dugaan yang ada dalam kepala.
Selain ide cerita yang brilian, Joko telah menelurkan suatu cara bercerita yang baru dan benar-benar berbeda, setidaknya diantara film-film Indonesia. Menurut Joko, ia ingin membuat film yang bercerita dengan character-driven. Penonton dipaksa untuk terus mengikuti setiap tingkah laku dan gerakan si karakter utama. Kamera pun tidak pernah lepas dari karakter yang dimainkan dengan sangat baik oleh the one-man show Rio Dewanto, dan penonton dipaksa untuk tidak melihat ke arah lain selain karakter utama kita. Trik ini cukup sukses untuk membangkitkan rasa penasaran dari penonton terhadap apa yang sedang dialami, dilihat, dirasakan, dan dipikirkan oleh sang karakter utama. Bahkan beberapa one-take shot yang ada dalam film, dimana yang terpanjang adalah 12 menit, dieksekusi secara brilian. Hasilnya adalah seakan-akan kamera bereaksi terhadap Rio dan juga Rio bereaksi terhadap kamera.
Hal ini didukung oleh segi teknis yang mumpuni. Walaupun dibuat dengan budget terbatas dan hanya dalam waktu 10 hari, namun Joko dan kru filmnya telah membuat sebuah film low-budget terlihat sebagai film kelas atas. Teknik pengambilan gambar dengan metode hand-held sangat cocok dalam mendukung emosi yang dirasakan oleh para karakter yang ada di layar. Jika The Raid (2011) terkenal dengan teknik sinematografi sederhana ketika kamera mengikuti karakter yang meloncat ke lantai bawah lewat lantai yang berlubang, maka Director of Photography Gunnar Nimpuno membawa teknik tersebut ke level yang lebih tinggi. Selain camera work yang menawan dengan shot-shot hutan yang indah sekaligus mencekam, acungan jempol juga perlu diarahkan pada Music Director Aghi Narottama yang bekerja sama dengan Bemby Gusti dan Ramondo Gascaro. Score yang digunakan benar-benar unik; merupakan remix dari suara-suara macam mesin pembuat kopi, terali besi, dan bahkan suara toilet. Hasilnya, benar-benar menggambarkan suasana mencekam yang ada sepanjang cerita.
Namun bukan berarti film ini tidak lepas dari kekurangan. Jika anda adalah penonton yang perhatian pada detil, anda akan menemukan beberapa goofs yang terjadi di layar. Goofs yang terjadi ini memang bisa dimaklumi, namun cukup vital mengingat Joko juga cukup detil menaruh setiap petunjuk yang berhubungan dengan jalan cerita. Selain itu, goofs yang ada juga cukup noticeable mengingat gaya pengambilan gambar yang menawarkan penonton untuk menyapu setiap sudut layar. Selain itu, ada satu hal vital yang sayangnya tidak timbul pada layar; emosi. Menonton film di bioskop adalah sebuah kesempatan untuk keluar dari kehidupan sehari-hari dan masuk dalam alternate-universe yang ada di layar. Sayangnya, entah dengan penonton lain, saya bersusah payah untuk memasuki "dunia" yang dijalani oleh Rio Dewanto. Entah mengapa, namun setiap adegan saya hanya dibuat pasrah dengan apa yang terjadi di layar dan menikmati petualangan mencekam yang ada.
Biasanya, sebuah film yang memiliki plot-twist memiliki "revealing moment" yang cukup singkat di akhir film. Namun Joko memilih menggunakan momen itu cukup panjang dan lama. Mungkin pilihan ini digunakan untuk mencari aman, agar filmnya dapat dipahami oleh penonton sebanyak-banyaknya. Saya sendiri juga tidak dapat menemukan alternatif lain yang membuat revealing moment tersebut terlihat classy dan sederhana. Namun bagi sebagian kecil penonton yang telah terbiasa dengan film thriller, sepertiga akhir film yang ada akan terasa lambat dan terlalu "terbuka".
Akhir kata, Joko Anwar telah membuat sebuah film Indonesia dengan rasa yang berbeda. Ide cerita yang orisinil, konsep cerita yang unik, serta teknis yang brilian. Dengan bagaimana Joko Anwar mengedepankan cinematic experience dalam filmnya kali ini, maka akan amat disayangkan jika melewatkan film lokal berkualitas ini di layar lebar. Jika masih belum bisa menjawab setiap pertanyaan, maka rasanya tidak cukup menonton film ini hanya dengan sekali. Atau kalau perlu, lakukan riset dengan melihat film-film Joko sebelumnya. Jadi, enjoy the ride, and let you own mindf*ck begins :D
Indonesia | Thriller | 90 mins | Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 26 April 2012 -
Komentar
Posting Komentar