Son of Babylon

Sobekan tiket bioskop tertanggal 2 Maret 2011 adalah Son of Babylon. Film ini menjadi salah satu line-up dalam Glasgow Film Festival dan dengan membaca sinopsisnya saja sudah membuat gue tertarik. Sedikit mengingatkan gue akan Le Grand Voyage, tapi tentunya beda latar dan cerita. Mungkin karena jarang ada film road-trip dengan latar dunia timur tengah. Hal lain yang membuat gue tertarik adalah, sudah saatnya untuk melihat gambaran tentang perang Irak dari sudut pandang warga Irak itu sendiri.

Tiga minggu semenjak kejatuhan rezim Saddam Hussein, Ahmed bersama neneknya menempuh perjalanan panjang antar kota di negeri Irak untuk mencari ayah Ahmed yang tidak pernah pulang dari perang. Perjalanan yang tidak mudah, belum lagi dengan ketidakpastian tentang keberadaan ayah Ahmed yang juga anak dari si nenek.

Film ini benar-benar membawa sudut pandang yang jauh berbeda dari film-film tentang perang Irak buatan Hollywood. Selain dibuat oleh sineas Irak sendiri, film ini seperti ingin mengangkat akibat langsung dan tidak langsung dari serbuan AS dan sekutunya ke tanah Irak dan kejatuhan Saddam Hussein lewat perspektif Ahmed dan neneknya. Film drama pasca-perang ini cukup berani dan tegas dalam menggambarkan kehancuran fisik, mental, dan psikologis dari negeri Irak beserta penduduknya. Belum lagi film ini akan memperlihatkan fakta-fakta yang mungkin belum diketahui dunia sebelumnya.

The Hurt Locker dan Green Zone memang membahas tentang situasi perang Irak dengan cukup deskriptif dan mengandung sedikit muatan politis. Buried lebih berani mengangkat situasi Irak pasca-perang lewat kacamata seorang supir truk biasa yang menjadi sandera oleh teroris di Irak. Namun film-film ini tetap dari sudut pandang orang Barat terhadap negeri Irak. Perjalanan Ahmed dan neneknya benar-benar membuka cakrawala baru bagi gue akan permasalahan sosial yang cukup genting yang terjadi di Irak. Bagaimana rakyat Irak bereaksi terhadap Saddam dan kejatuhan rezimnya, sekaligus reaksi mereka akan invasi AS dan sekutunya. Mereka memang membenci Saddam dari dalam lubuk hati, tapi ternyata mereka juga tidak sebegitu memuja AS dan sekutu karena telah meruntuhkan rezim Saddam. Kondisi pasca-kejatuhan rezim Saddam pun ternyata lebih suram dan mengerikan daripada perang Irak itu sendiri. Kondisi sarana dan prasarana yang hancur lebur, banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, semakin banyak janda-janda yang ditinggalkan suaminya, dan yang paling tragis adalah ditemukannya berbagai kuburan massal peninggalan rezim Saddam yang totalnya bisa mencapai sekitar 1 juta mayat.

Cara film ini dalam mengambil gambar kota Baghdad yang hancur mengingatkan gue akan pemandangan kota Warsawa dalam The Pianist. Bukan hanya gedung-gedung hancur dan bangkai-bangkai mobil yang masih terbakar, film ini juga cermat mengambil ekspresi dan celetukan penduduk kota Baghdad yang frustrasi namun memiliki secercah harapan untuk hidup. Tapi tidak hanya kota Baghdad, penonton juga disuguhkan pemandangan-pemandangan alam Irak. Walaupun kebanyakan dipenuhi oleh gurun, tapi ternyata ada keindahan tersendiri yang tersembunyi di balik padang pasir itu. Bonusnya, kapan lagi melihat reruntuhan bangunan yang katanya adalah rumah dari nabi Abraham.

Seperti layaknya film-film road-trip, pertemuan antara karakter utama dengan karakter-karakter pembantu di sepanjang jalan dalam film ini sangat mewarnai film ini. Supir yang menjadi sinis terhadap kehidupan - bahkan terhadap Tuhan - karena tragedi perang, janda-janda yang berduka cita, sampai pada pria mantan pasukan khusus yang terlibat dalam Anfal (pembantaian massal kaum Kurdi oleh rezim Saddam Hussein).

Menurut gue, penuturan cerita dalam film ini dibawakan berdasarkan perspektif Ahmed dalam memandang dunia. Di umur yang masih belia dan dengan tingkah kekanak-kanakkannya, Ahmed adalah seorang anak yang optimis, ceria, selalu ingin tahu, dan berani dalam meminta keadilan. Namun bukan berarti Ahmed tidak lepas dari rasa takut,  dengan bagaimana ia sangat takut untuk berpisah dari neneknya - yang menjadi satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki.

Semua ini digambarkan dengan sangat baik oleh aktor muda berbakat, Yasser Talib, yang menjadi film pertamanya. Shazada Hussein juga tampil meyakinkan sebagai nenek yang teguh, keras kepala, dan memiliki determinasi tinggi dalam mencari anaknya. Dengan karakter Ahmed yang ceria, penonton akan dibawa pada jalur roller-coaster yang mengaduk-aduk emosi ketika melihat karakter sang nenek, terutama di seperempat terakhir film. Hubungan antara Ahmed dan neneknya juga tidak melulu rukun, tapi setiap konflik dan saling menyayangi diantara mereka selalu menyentuh hati. Saking kuatnya chemistry diantara mereka berdua, rasanya seperti ada yang kurang jika salah satu dari mereka berdua tidak muncul di layar. Belum lagi dengan ending film yang bagi gue adalah sebuah pengalaman sinematik yang rasanya akan terus menempel di dalam kepala gue dalam jangka waktu yang lama.

Kalau film-film bertema Nazi telah banyak yang mengangkat tema pasca-perang dan pasca-kejatuhan Hitler, maka film ini telah menjadi pionir dalam tema pasca-perang Irak dan pasca-kejatuhan rezim Saddam Hussein - dan dari sudut pandang rakyat Irak sendiri. Film ini benar-benar patut ditonton bagi anda yang ingin tahu kekejaman apa yang ada di balik rezim Saddam, apa akibat dari rezim tersebut terhadap rakyat Irak, atau anda yang masih peduli pada nilai kemanusiaan. Di pertengahan, film ini sempat membuat gue putus asa akan harkat hidup manusia di tengah keadaan dunia yang kacau balau. Namun setelah keluar dari bioskop, gue menyadari bahwa terkadang kita perlu menghidupkan sisi kekanak-kanakkan dan optimisme yang ditunjukkan oleh Ahmed, agar kita tidak kehilangan harapan terutama dalam kondisi yang paling ekstrim sekalipun. Seperti bagaimana Ahmed yang memupuk harapannya untuk dapat melihat Taman Gantung di kota Babilonia dengan mata kepala sendiri.



Rating?
8 dari 10

Komentar