Yuni - Review


Yuni adalah potret sosial kompleks yang apa adanya dan vulgar tentang perempuan pada umumnya, dan perempuan yang hidup di ekonomi menengah ke bawah di rural Indonesia pada khususnya. Dengan dialog 100% menggunakan bahasa Jawa Serang, penonton dibawa untuk menyelami kehidupan Yuni di kota kecilnya. Keseharian Yuni yang sangat sederhana dari obrolan tentang seks di padang rumput sampai dengan ayah yang suportif saat sedang potong kuku di malam hari.

Lengkap dengan komunitas kecil, warga lokal yang penuh gosip, sampai tetek bengek politik yang efeknya sangat terasa bagi mereka. Film ini memang tipikal menceritakan keseharian karakter utamanya yang setiap gerak-geriknya yang tak luput dari sebab-akibat pandangan sosial dan politik yang berlaku pada saat itu. Mulai dari perempuan mau jadi apa kalau tidak menikah sampai dengan wacana tes keperawanan dari pemerintah. 


Hal yang gue sangat suka dari film Yuni adalah bagaimana kamera selalu fokus pada Yuni sepanjang film, dan perlahan menyamarkan latar dan ekspresi orang-orang sekitarnya untuk semakin dalam melihat ekspresi dan emosi Yuni. Seakan Son of Saul (2015) yang fokus pada karakter utama sebagai respon terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya, sutradara dan penulis naskah Kamila Andini tampak menggunakan pendekatan yang sama bahwa apapun yang terjadi dari skala makro sampai mikro pasti berdampak ke level individu.

Kamera yang fokus pada Yuni ini bagi gue juga sebagai simbol bahwa sudah saatnya menempatkan perempuan bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek. Simbol yang kontradiktif terhadap banyak hal yang terjadi pada setiap perempuan di sekitar Yuni. Ada yang putus sekolah karena menikah dan punya anak, untuk kemudian ditinggal suaminya. Ada yang menikah sejak SMP tapi selalu keguguran karena secara biologis belum matang dan kemudian diceraikan. Ada pula yang hamil dan menanggung semua akibatnya sendirian sampai maut.


Kamera yang menempatkan Yuni sebagai subjek ini juga sejalan dengan pengisahan Yuni luar dalam. Karakter utama perempuan tidak hanya pasif menerima keadaan sebagai objek penderita, tapi aktif dalam merasakan, bergumul, bingung, sampai aktif mencari jalan atau pilihan alternatif dari masalah yang dihadapi. Beruntung Yuni adalah karakter yang cenderung resisten dan berani, tercermin dari aktivitas bela diri yang diikuti. 

"Penyakit ungu" yang dicap oleh gurunya terhadap Yuni juga dianggap sebagai sesuatu yang harus disembuhkan. Ungu adalah simbol warna yang digunakan oleh International Women's Day, dan digunakan pula oleh para aktivis di Indonesia untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ungu sebagai simbol kekuatan perempuan ini yang coba diredam oleh sosial - kali ini lewat ibu guru - agar dapat diterima oleh masyarakat.


Menonton Yuni jelas menjadi pengalaman yang sangat unik. Beragam rasa bisa gue rasakan mulai dari hangatnya hati melihat aktivitas dan interaksi Yuni dengan teman-temannya, sampai ke miris dan pedih melihat bagaimana peran perempuan direduksi hanya sebagai "kasur, sumur, dan dapur". Sebuah hal yang tampak asing bagi kita orang yang sudah terbiasa hidup di kota, tapi mirisnya ini adalah fakta keseharian yang ada di setiap rural di Indonesia - dan bahkan di negara-negara berkembang lainnya.

Sebagai seorang remaja 16 tahun yang sebentar lagi lulus SMA - sama seperti semua remaja di mana pun - Yuni belum tahu mau apa dan ke mana di masa depan nanti. Sayangnya di kelas sosial dan ekonominya, pilihannya sangat terbatas. Melanjutkan studi ke perguruan tinggi butuh biaya mahal, sedangkan jalur beasiswa butuh konsistensi nilai yang cemerlang. Bekerja pun pilihannya sangat terbatas karena lapangan pekerjaan yang cenderung hanya condong pada bidang yang dikuasai laki-laki.


Menjalankan hobi bernyanyi menjadi hal yang tabu karena sekolah mencap bahwa mengeluarkan suara adalah aurat. Pilihan yang tampak jauh lebih mudah adalah menikah dan diberi nafkah. Tapi ketika calon kepala daerah mengumumkan akan mengadakan tes keperawanan di sekolah, ternyata selaput dara jadi token yang dibayar mahal dalam mahar. Menerima satu-dua lamaran yang datang selalu menjadi pilihan yang sangat sulit, ditambah lagi omongan sosial bahwa pamalih menolak lamaran lebih dari dua kali.

Padahal sekolah sendiri sebagai lembaga edukasi tidak memberikan pendidikan seks yang mumpuni. Akibatnya jelas anak-anak sekolah yang penuh rasa ingin tahu ini mencari ke tempat lain; obrolan di padang rumput, diskotik, internet, sampai ke ruang kosong di tempat penginapan yang ditinggalkan.

Sejalan dengan penggambaran dan potret permasalahan yang holistik, Yuni tidak serta-merta memberikan pilihan solusi atau jawaban praktis. Tidak ada kuliah atau ceramah yang menggurui, tapi konsisten mengeksplorasi berbagai sebab-akibat yang bisa saja terjadi - dan nyata terjadi di keseharian rural Indonesia. Pun Yuni tidak menunjuk siapa atau apa yang patut disalahkan dalam isu sosial ini karena individu dan kelompok individu juga bereaksi akibat struktural yang kompleks dan problematik.








- sobekan tiket bioskop tanggal 6 Desember 2021 -
----------------------------------------------------------
review film yuni
review yuni
yuni movie review
yuni film review
resensi film yuni
resensi yuni
ulasan yuni
ulasan film yuni
sinopsis film yuni
sinopsis yuni
cerita yuni
jalan cerita yuni

Komentar