The Babadook
"Sunyi, artistik, lambat, but scary as sh*t!!"
Seorang ibu yang kehilangan suaminya tujuh tahun yang lalu, harus merawat putra tunggalnya sendirian sambil menghadapi rasa duka citanya yang mendalam. Tidak hanya itu, ia harus menghadapi pula ketakutan anaknya terhadap monster yang terkadang suka muncul di lemari atau di kolong tempat tidurnya. Ketika kekuatan monster tersebut semakin kuat, mereka berdua harus percaya satu dengan yang lain dan bertahan hidup dari niat jahat si monster.
Seorang ibu yang kehilangan suaminya tujuh tahun yang lalu, harus merawat putra tunggalnya sendirian sambil menghadapi rasa duka citanya yang mendalam. Tidak hanya itu, ia harus menghadapi pula ketakutan anaknya terhadap monster yang terkadang suka muncul di lemari atau di kolong tempat tidurnya. Ketika kekuatan monster tersebut semakin kuat, mereka berdua harus percaya satu dengan yang lain dan bertahan hidup dari niat jahat si monster.
Film ini dibungkus dengan gaya artistik sekelas film-film tipikal arthouse; sunyi, bertempo lambat, teknik editing hip-hop montage, penggunaan scoring yang minimal, dan kekuatan karakter. Namun ternyata dibalik semua gaya artistik tersebut, The Babadook jelas menyimpan dan mengeluarkan momen-momen jump scare-nya dengan sangat efektif. Drama psikologis sebagai pengenalan karakter digunakan dengan signifikan untuk membangun suasana menyeramkan yanga ada di rumah karakter utama kita. Tension building yang sempurna ini jelas tinggal memetik hasilnya saja pada adegan-adegan jump scare.
Aktris asal Australia yang kini menjalani debut penyutradaraan, Jennifer Kent, jelas bisa menjadi tandingan terbaru bagi James Wan. Remake dari film pendek yang ditulis naskahnya dan disutradarinya sendiri, Monster (2005) ini berhasil menembus berbagai festival film internasional, termasuk Sundance Film Festival. Walaupun dibuat dengan budget sangat minim, Jennifer Kent terbukti bisa menghasilkan sebuah film horor yang sangat menakutkan. Segala keterbatasan efek visual diakali dengan teknik stop-motion, yang ternyata malah sangat efektif untuk meningkatkan ketegangan berkali-kali lipat.
Seperti layaknya film-film psychological thriller lainnya, The Babadook juga sesekali memberi celah kepada penonton untuk berinterpretasi mengenai apa yang sedang terjadi di layar. Apakah si ibu benar melihat sosok menakutkan tersebut atau itu hanya proyeksi dari depresi yang sedang terjadi pada hidupnya. Apalagi bagaimana Jennifer Kent memotret perkembangan proses grief yang sangat akurat dan deskriptif dalam film ini. Dimulai dari denial-anger-bargaining-depression hingga acceptance digambarkan dengan sangat baik dan elaboratif melalui berbagai dialog, tingkah laku, dan liku jalan cerita yang ada.
Selain itu, film ini juga diberkahi oleh akting yang sangat baik dan berpengaruh pada perkembangan karakter yang sangat signifikan. Menurut gue, The Babadook masuk dalam daftar film yang dapat membuat penontonnya mengubah pandangannya pada satu karakter, dari awal hingga akhir film. Dengan kekuatan karakternya, di awal film mungkin penonton akan dengan mudah menaruh simpatik pada sang ibu, dan kemudian memandang sinis si anak yang banyak bertingkah. Untuk kemudian di tengah hingga penghujung akhir film, pandangan tersebut akan bergeser sebaliknya.
Pada akhirnya The Babadook merupakan sebuah film horor yang sangat kaya di berbagai sisi, sekaligus menjadi sebuah film horor yang sangat segar dan menarik. Dengan drama dan karakterisasi yang kuat, sangat efektif dalam mengiringi kengerian dan suasana seram yang terbangun dengan sangat baik, untuk kemudian para pecinta horor dapat menikmati sensasi merinding dan kaget dalam durasi 93 menit yang menjadi terkesan lama. Ditambah dengan pilihan ending yang menurut gue cukup cerdas dan terbilang segar diantara film-film horor sejenis. Yang pasti, bayangan akan sosok Mr. Babadook dan suara seraknya akan menempel dalam beberapa hari ke depan setelah menonton film ini.
Ba-ba-ba
DOOK!
DOOK!
DOOK!
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 8 Agustus 2014 -
Komentar
Posting Komentar