Transcendence
"Memiliki ide yang berpotensi luar biasa, tapi dieksekusi dengan kurang baik sehingga film ini tampil datar saja"
Dr. Will Caster adalah seorang ilmuwan yang sedang mengembangkan Artificial Intelligence (AI) yang berisi tidak hanya kecerdasan buatan tetapi juga penuh dengan emosi manusia. Eksperimen kontroversialnya mengundang reaksi keras dari kelompok ektrimis anti-teknologi, yang merespon dengan membunuh para ilmuwan dan menghancurkan beberapa laboratorium. Will yang terluka, namun selamat dari sebuah serangan, divonis untuk hidup hanya beberapa minggu saja karena racun yang ada dalam tubuhnya. Dalam sisa waktunya, Evelyn, membantunya untuk mengunggah otak Will ke mesin AI - sebuah lompatan besar sejak sebelumnya hanya dilakukan pada monyet. Namun, kecerdasan Will ditambah dengan kemampuan AI yang seakan tanpa batas malah membuat masalah baru yang lebih besar.
Transcendence hadir sebagai film science-fiction dengan ide yang cukup segar dan menarik. Mungkin memang ide kecerdasan buatan atau AI telah banyak dikupas oleh film-film lain. Tapi tampaknya film yang naskahnya ditulis oleh penulis naskah debutan Jack Paglen ini hendak membawa kemampuan AI ke tingkat yang jauh lebih tinggi lagi. Bukan hanya AI yang mampu berevolusi dan berkembang sendiri, namun juga menjelma menjadi sebuah AI yang dapat menyatu pada kehidupan nyata lewat caranya sendiri.
Namun sayang, ide cerita yang menarik ini tidak dieksekusi dengan baik. Harap maklum, ini adalah film debut dari cinematographer-to-director langganan Christopher Nolan sejak Memento (2002), Wally Pfister. Jelas bahwa Pfister ini membawa Transcendence ke ranah drama-thriller yang menegangkan, dan tidak tergoda untuk menggali lebih banyak unsur aksinya. Namun bagaimana Pfister bertutur cerita dalam 119 menit film ini seakan datar saja, tanpa flow naik-turun yang signifikan. Hasilnya adalah sebuah film yang flat dan seakan sambil lalu. Padahal cerita dalam film ini memiliki potensi yang sangat besar, yang tidak hanya memicu ketegangan tetapi juga thought-provoking.
Dengan hadirnya dua kubu karakter yang bertolak-belakang saja dapat menjadi potensi yang besar untuk memecahkan penonton menjadi dua kubu yang berbeda; mendukung atau menolak kecerdasan buatan. Namun entah kenapa, gaya bertutur cerita yang ada dalam film ini seakan menggiring penonton kepada salah satu sisi saja. Sungguh sayang, mengingat topik kontroversial semacam ini dapat dieksplorasi lebih jauh lagi sehingga melahirkan pertanyaan dan diskusi terbuka di kalangan penonton.
Secara umum, film ini cukup baik dalam mengeksplorasi kemampuan AI semaksimal mungkin, bahkan menghubungkannya dengan dunia analog. Film ini juga cukup menghibur dengan sedikit porsi adegan aksi dan visual efek yang menawan. Namun eksekusi ide tersebut cukup kurang dalam bertutur cerita dan gagal menghanyutkan emosi penonton selama durasi film.
USA | 2014 | Drama / Sci-Fi | 119 min | Aspect Ratio 2.35 : 1
Rating?
6 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 25 April 2014 -
Komentar
Posting Komentar