Her

"Film drama-romansa yang kontemporer dan tajam dalam menggambarkan hubungan cinta antara manusia dengan kecerdasan buatan"

Di era sekarang ini dimana teknologi canggih hanya sebatas genggaman tangan pada smartphone, maka era dimana teknologi dapat berbicara dan berinteraksi dengan manusia telah berada di depan mata. Sebuah virtual assistant yang tidak hanya mengingatkan anda pada jadwal pertemuan atau membacakan email, tetapi menjadi "seorang teman" yang dapat memenuhi apapun kebutuhan penggunanya pun bukan tidak mungkin akan terjadi.

Theodore sedang berada pada tahap akhir perceraian dengan istri yang sangat dicintainya. Kesepian dan harus menjalani rutinitas hidup sehari-hari, Theodore memutuskan untuk mencoba menggunakan Operating System (OS) pertama di dunia yang diberkahi oleh Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. "It's not just an operating system, it's a consciousness" begitu tagline dari iklannya. Singkatnya, Samantha - begitu OS milik Thedore menyebut dirinya, jelas jauh lebih canggih daripada Siri-nya iPhone. Samantha yang berevolusi sejalan dengan interaksinya dengan penggunanya, membuat ia semakin pintar dan semakin menjawab kebutuhan Theodore - cinta yang hilang. Tenggelam pada hubungan cinta yang tidak biasa, Theodore tetap harus menjawab pertanyaan "cinta seperti apa yang ia butuhkan?".

Lewat film-film seperti Being John Malkovich (1999), Adaptation. (2002), apalagi Where the Wild Things Are (2009), sutradara-penulis naskah Spike Jonze selalu menampilkan sisi psikologis yang kuat plus tema keterasingan yang nyata dalam setiap filmnya. Jika Sofia Coppola mengupas tema keterasingan dengan kemasan realis, maka Spike Jonze mengemasnya dengan daya imajinasi yang liar dan tak terduga. Dalam film yang naskahnya ditulis sendiri dan disutradarainya, Her (2013) jelas menjadi film yang tidak hanya memberikan sebuah presentasi studi karakter yang akurat dan berlapis, tetapi juga memiliki kekuatan emosional film romansa, plus dengan bonus deretan pertanyaan filosofis mengenai cinta, interaksi manusia, serta eksistensi dari dua hal tersebut dalam tataran metafisika.



Film Her dibawakan dalam mood yang pararel dengan keadaan psikologis dari karakter utamanya; lamban dan sepi. Cara ini sangat signifikan dalam menarik perasaan dan pikiran penonton untuk lebih dekat dengan Theodore. Bahkan shot-shot close up pada wajah dan ekspresi mikro dari Theodore seakan memaksa penonton untuk masuk lebih dalam ke pikiran dan perasaannya. Senyum kecil atau pandangan kosong Theodore pun menjadi sangat mudah untuk dipahami, apalagi memang manusia sejak lahir diberkahi dengan kemampuan untuk mengenali ekspresi raut wajah, yang selalu dilatih seiring berjalannya waktu. Pemilihan aspek rasio 1.85 : 1 jelas menjadi sebuah alasan untuk dapat lebih menangkap ekspresi dan emosi karakternya, dibandingkan dengan aspek rasio 2.35 : 1 yang lebih cocok dipakai untuk menangkap panorama dan gambar selebar mungkin.

Koneksi puncaknya jelas ketika Theodore pertama kali "berkenalan" dengan Samantha, dengan zoom in perlahan sukses membuat penonton merasakan kesenangan yang sama yang dialami oleh Theodore; terpukau dengan cerdasnya Samantha dan *ehem* suara seksinya Scarlett Johansson. Dari sini, jelas akan menjadi mudah bagi Spike Jonze untuk menyuapi penontonnya dengan berbagai dilema dan pertanyaan seputar cinta dan eksistensi Samantha.


Yang gue sangat suka dari Her adalah bagaimana Spike Jonze berhasil membuat penontonnya merasakan apa yang Theodore rasakan secara konsisten dari awal hingga akhir. Apalagi memang karakter Theodore adalah karakter yang manis tetapi cenderung introvert sehingga akan mudah bagi penonton untuk peduli padanya. Mulai dari kekagumannya pada Samantha, jatuh cinta, bumbu konflik, rasa canggung karena berinteraksi dengan "hal yang tidak nyata", hingga sakit hati. Ada momen ketika gue mengagumi Samantha, ada momen ketika gue pun berasa ingin memiliki Samantha dalam iPhone gue, tetapi perasaan tersebut dapat berganti secara gradual dalam durasi 126 menit menjadi betapa aneh dan cenderung mengerikannya AI itu jika berinteraksi secara intim dengan manusia. Jelas hal terakhir tersebut akan menjadi sebuah diskusi yang sangat panjang, sejak pertama kali dicetuskan oleh Stanley Kubrick dalam sinema lewat HAL-9000 dalam 2001: A Space Odyssey (1968). Yes, include that weird feeling when you have sex with your "Siri". 

Film Her jelas mengukuhkan dirinya sebagai sebuah film drama-romantis yang sangat unik dan thought-provoking lewat berbagai pertanyaan filosofis yang muncul secara implisit dalam setiap gerakan jalan ceritanya. Bagian yang menurut gue paling cerdas adalah penempatan Theodore sebagai karyawan sebuah bisnis yang bergerak di bidang jasa penulisan surat. Bayangkan; anda ingin menulis surat pada pasangan/orangtua/anak tetapi anda tidak mahir dalam berkata-kata, maka anda menyewa jasa Theodore untuk menuliskan surat anda. Sekarang, bayangkan anda menjadi penerima surat itu dari pasangan/orangtua/anak/siapapun itu, dan anda tersentuh oleh untaian kata dan emosi yang ada di dalamnya. Bagaimana jika anda tahu bahwa yang menulis surat itu adalah orang lain dan bukan relasi anda? Dan dalam film jelas digambarkan bahwa Theodore - dan rekan kerja yang lain - menulis surat itu dengan hati, hingga menggambarkan deskripsi yang akurat lewat analisa dan observasi kecil-kecilan terhadap klien mereka agar suratnya "tepat sasaran". Briliannya, perusahaan ini menggunakan font tulisan tangan yang unik - bukan font komputer yang seragam - agar lebih mengeluarkan kepribadian si pengirim surat. Intinya, apakah perasaan tersentuh atau bahagia ketika membaca surat itu sudah cukup? Sehingga anda tidak peduli siapapun penulisnya? Atau anda akan menjadi kecewa karena untaian kata itu bukan datang asli dari relasi diri anda? Meski si penulis surat telah belajar dan dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang si pengirim surat hendak sampaikan?


Dilematis ini yang menjadi latar belakang cerdas bagi kisah utama antara Theodore-Samantha. Jelas Samantha hadir dalam hidup Theodore untuk membantu dirinya move on dan mengalami perasaan jatuh cinta hingga berkomitmen dengan orang baru. Tapi Samantha jelas bukan manusia yang memiliki bentuk fisik, jadi hal fundamental apa yang Theodore butuhkan? Apakah perasaan bahagia, jatuh cinta, dan berkomitmen sudah cukup? Tanpa peduli apakah Samantha hanya OS macam Windows 8/Linux/Macintosh? Jika ya ia tidak peduli, apakah Theodore siap untuk menerima konsekuensi yang akan terjadi? Jika tidak, maka hal fundamental apa yang Theodore butuhkan? Brengseknya, Spike Jonze sama sekali tidak berminat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jonze hanya memposisikan Her sebagai gambaran deskriptif dan naratif, lengkap dengan hubungan sebab-akibat yang jujur dan tidak mengada-ngada. Di titik ini, jawaban-jawaban atas deretan pertanyaan tersebut pun kembali pada prinsip, pengalaman, dan keinginan hidup dari para penontonnya. In a relationship, what is really matters for you?

Di tataran lain, Jonze juga menggambarkan bagaimana manusia berinteraksi dengan sesamanya di era modern. Dalam konteks hubungan romansa pun ternyata sentuhan fisik dapat di substitusi dengan virtual cuddling, atau quality time dapat di substitusi dengan virtual dating. Dalam konteks Theodore-Samantha, jelas ini adalah kondisi paling ekstrim untuk dua karakter yang dengan jelas dapat menerima kondisi mereka masing-masing yang tidak dapat bertemu muka dan mereka (harus) puas dengan segala keterbatasan tersebut. Namun ya pada dasarnya manusia tidak pernah puas, apa benar Theodore sebegitu puasnya dengan hubungan romansanya dengan Samantha?


Dalam lapisan paling luarnya, Spike Jonze juga berhasil menggambarkan kondisi patah hati tidak hanya dalam tataran tingkah laku, tetapi juga kognitif dan emosional. Bagaimana Jonze menginterpretasi kondisi emosional tersebut dalam bahasa visual terbilang kuat dan sangat tepat. Seperti misalnya ketika Theodore sedang berbicara dengan mantan istrinya, Catherine, maka ada momen sepersekian detik dimana memori-memori indah mereka berdua di masa lalu bermunculan secara liar dan bergantian di benak Theodore.

Spike Jonze tidak hanya berhasil membuat sebuah film sci-fi yang dapat membuat penonton fokus pada karakternya - alih-alih fokus pada berbagai pameran teknologi yang ada di layar - tetapi juga membuat film yang dapat diakses oleh semua kalangan dengan berbagai konteks. Di satu sisi, film ini menggambarkan dengan sempurna sebuah kisah romansa yang unik dan tepat secara psikologis, di sisi lain Her juga jelas menjadi cerminan jujur bagi tingkat laku manusia di era modern ini. Sebuah ketergantungan akut manusia pada teknologi yang secara bersamaan menjauhkan manusia dari interaksi fisik dengan sesamanya. Sebuah kondisi yang sangat nyata terjadi ketika ulasan ini dibuat, ketika sekelompok anak muda sedang hang-out di mall tetapi sibuk dengan smartphone masing-masing.

Film ini juga memiliki unsur komedi yang cenderung mengarah kepada apa yang penonton tertawai di layar maka mereka sedang menertawai diri mereka sendiri. Secara keseluruhan, ini adalah sebuah film yang relevansinya sangat nyata dan dekat, diperkaya dengan kisah cinta yang manis dan jujur, dibungkus dengan score yang hallucinating a la Arcade Fire, memiliki berbagai lapisan makna yang dapat menjadi bahan diskusi selama berjam-jam, dan salah satu film romansa terbaik yang pernah gue tonton.


USA | 2013 | Drama / Romance / Sci-Fi | 126 min | Aspect Ratio 1.85 : 1

Rating?
10 dari 10

Won for Best Original Screenplay, Nominated for Best Motion Picture, Best Original Score, Best Original Song (The Moon Song), Best Production Design, Academy Awards, 2014.
Won for Best Screenplay, Nominated for Best Motion Picture - Comedy or Musical, Best Actor - Musical or Comedy (Joaquin Phoenix), Golden Globes, 2014


- sobekan tiket bioskop tanggal 22 Februari 2014 -

Komentar

Posting Komentar