Sokola Rimba
"Perjuangan Butet Manurung dalam mengajar baca-tulis-hitung kepada orang Rimba ini digambarkan dengan sangat baik oleh sutradara dan penulis naskah Riri Riza"
Setelah bekerja lebih dari dua tahun di sebuah LSM konservasi, Butet Manurung pun akhirnya menemukan passion hidupnya; mengajar calistung (baca-tulis-hitung) kepada anak-anak masyarakat Suku Anak Dalam, atau yang biasa dikenal dengan orang Rimba. Kebiasaan orang Rimba yang hidup berkelompok dan nomaden di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi membuat Butet harus berjalan masuk hutan berjam-jam untuk mencapai suatu Tumenggung, atau satuan kelompok orang Rimba.
Setelah bekerja lebih dari dua tahun di sebuah LSM konservasi, Butet Manurung pun akhirnya menemukan passion hidupnya; mengajar calistung (baca-tulis-hitung) kepada anak-anak masyarakat Suku Anak Dalam, atau yang biasa dikenal dengan orang Rimba. Kebiasaan orang Rimba yang hidup berkelompok dan nomaden di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi membuat Butet harus berjalan masuk hutan berjam-jam untuk mencapai suatu Tumenggung, atau satuan kelompok orang Rimba.
Ketika Butet hendak mengajar di Tumenggung Makekal Hulu (kelompok orang Rimba yang tinggal di hulu sungai Makekal), Butet pingsan dan ditolong oleh seorang anak Rimba dari Tumenggung Makekal Hilir yang berjarak puluhan kilometer. Ternyata, Bungo, yang selalu membawa gulungan surat perjanjian yang tidak pernah bisa ia baca, juga ingin ikut belajar calistung dari Butet. Pertemuannya dengan Bungo membuat Butet sadar bahwa ia juga harus mengajar calistung pada kelompok orang Rimba di daerah hilir. Namun sayang, keinginan tersebut tidak mendapat restu dari lembaga tempat ia bekerja. Belum lagi ada penolakan dari warga Tumenggung Makekal Hilir yang masih menganggap bahwa masuknya pensil adalah malapetaka bagi mereka semua. Namun keteguhan dan kecerdasaran Bungo-lah yang membesarkan hati Butet untuk mencari cara bagaimana dapat mengajar Bungo dan teman-temannya.
Ada berbagai hal yang membuat Sokola Rimba menjadi sangat spesial bagi gue. Bukan karena gue telah membaca buku catatan perjalanan Butet Manurung yang berjudul sama dengan film ini. Bukan juga karena gue sudah terlanjur nge-fans dengan sosok Butet Manurung yang rendah hati namun punya segudang tekad. Bukan pula karena gue sudah pernah kertemu muka dengan tiga anak orang Rimba, dan ngobrol banyak dan melihat orang Rimba dari kacamata warga desa di Jambi. Tapi mungkin karena gue sangat mengerti passion atau dorongan kuat yang membuat Butet tetap mau berjalan 2-3 hari masuk hutan sendirian "hanya" untuk mengajar calistung kepada anak-anak Rimba disana. Dan itulah yang hendak ditangkap dan digambarkan oleh Riri Riza sebagai penulis naskah dan sutradara dalam Sokola Rimba.
Dalam Sokola Rimba, di awal film akan kentara sekali hal apa yang membuat seorang Butet Manurung berangkat kerja dengan penuh semangat dan energi, sampai seringkali melupakan kesehatan dirinya sendiri. Kebun sawit yang terus menerus menggantikan pepohonan dan merusak hutan, membuat areal tempat tinggal Orang Rimba semakin sempit. Belum lagi para binatang yang semakin kehilangan tempat tinggalnya, berpengaruh pada Orang Rimba yang menggantungkan makanan mereka pada alam. Penebang liar bebas keluar-masuk hutan, di sebuah area 600 hektar yang diberi label "Taman Nasional" yang notabene dilindungi oleh pemerintah. Dan seorang diri, Butet Manurung tidak dapat menyelamatkan luasan hutan TNBD. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah mengajarkan calistung pada Orang Rimba, sehingga mereka tidak lagi ditipu oleh Orang Terang (sebutan bagi orang-orang yang berasal dari luar hutan) dengan surat perjanjian untuk menebang pohon dan dibayar dengan 3 bungkus rokok.
Prisia Nasution memang tampil nyaris sempurna untuk membawakan karakter Butet Manurung dengan caranya sendiri. Namun jelas yang menjadi primadona dalam film ini adalah duet anak Rimba asli Nengkabau dan Beindah. Gue bisa bayangkan, semua orang Rimba yang tampil dalam film ini baru pertama kali berakting di sebuah film layar lebar. Bagaimana mereka dapat berakting senatural mungkin, itu adalah sebuah hal yang sangat mengesankan. Kepolosan, tawa canda, hingga ucapan "raja penyakit" selalu berhasil untuk menarik hati dan simpatik penonton - dan air mata haru dari gue ;p Belum lagi dengan Nyungsang Bungo sebagai anak Rimba yang memiliki keinginan kuat untuk belajar, pun tampil sangat natural di layar film. Seribu pujian untuk pembuat film yang memutuskan menggunakan nama asli orang Rimba dalam film ini entah karena alasan apa.
Yang menarik adalah bagaimana film ini benar-benar melibatkan, tidak hanya Butet Manurung sendiri, tetapi juga orang-orang Rimba dalam proses syuting. Gue pun berteriak kegirangan melihat nama Pengendum dan Peniti Benang yang ada di ending credits. Hebatnya, Pengendum menjadi asisten sutradara! Melawon!
Yang gue kagumi dari film Sokola Rimba adalah bagaimana cara Riri Riza menerjemahkan buku karangan Butet Manurung ke dalam media film. Kita tidak akan pernah bisa membandingkan antara buku dengan film, karena ini adalah dua media yang berbeda. Tetapi bagaimana Riri Riza menginterpretasi buku Sokola Rimba memang patut diacungi jempol. Riri Riza bisa untuk tetap fokus pada kisah antara Butet dengan Bungo, dan tidak tergoda untuk mengangkat lebih jauh kisah-kisah diluar itu. Isu permasalahan konservasi, adat Orang Rimba, hingga Temanggung-temanggung lainnya di TNBD pun akhirnya hanya direduksi sedemikian rupa. Meski penonton tetap mendapatkan pengetahuan baru tentang beberapa adat orang Rimba yang sangat penting, tetapi tetap dapat fokus menikmati bagaimana aksi Butet mengajar orang-orang Rimba. Sehingga dapat dikatakan bahwa jelas film ini dapat mengambil intisari dari bukunya dengan nyaris sempurna, dan memberikan efek yang nyaris sama ketika ada pembaca buku yang menonton filmnya. Bahkan dengan efek berkali-kali lipat karena di media audio visual, tergambar sudah bagaimana kehidupan asli orang-orang Rimba.
Tapi bagi anda yang suka sekali dengan film ini, maka membaca bukunya adalah sebuah kewajiban baru. Selain menambah pengetahuan dan menginspirasi hidup, uang hasil penjualan buku langsung dipakai untuk keberlangsungan organisasi Sokola untuk mengajar berbagai anak-anak dari komunitas marjinal di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, ini adalah sebuah film yang sangat spesial bagi gue. Karena film ini seakan menjustifikasi passion hidup gue terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Belum lagi film ini banyak mengingatkan gue akan pengalaman mengajar di sebuah desa di Kalimantan Barat, dimana seluruh penduduk desa tiba-tiba memanggil gue dengan sebutan "Pak Guru". Melihat anak-anak Rimba, atau melihat Bungo yang akhirnya bisa membaca, pun sukses membuat air mata menggenang.
Rating?
9 dari 10
- sobekan tiket bioskop tanggal 21 November 2013 -
agan punya bukunya?
BalasHapusga punya sih tapi ane minjem. sekarang malah ada versi bahasa inggrisnya.
Hapus