Contagion
Setelah pulang dari sebuah perjalanan bisnis dari Hong Kong, Bett Emhoff meninggal dunia secara tiba-tiba setelah menampakkan gejala komplikasi antara flu dengan kejang-kejang. Beberapa hari kemudian, anak laki-lakinya meninggal karena gejala yang sama. Di berbagai belahan dunia, kematian dengan gejala yang sama mulai bermunculan. Centre for Disease Control (CDC) milik AS dan WHO yang terlambat bereaksi terhadap penyakit yang tadinya diduga flu biasa tersebut pun berusaha keras untuk mengidentifikasi jenis virus tersebut dan menghentikan penyebarannya. Waktu pun terus berjalan seiring dengan angka kematian yang semakin tinggi di berbagai belahan dunia. Penyebaran virus misterius yang mematikan ini pun menyebar seiring dengan ketakutan dan kepanikan pada seluruh masyarakat dunia.
Diantara film-film bencana global lain yang melibatkan alien, robot, zombie, atau perang besar antar-manusia yang mengurangi jumlah populasi penduduk dunia secara signifikan, film terbaru arahan sutradara Steven Soderbergh ini tampil dengan ide uniknya; virus flu. Scott Z. Burns (The Bourne Ultimatum, The Informant)yang menulis naskah film ini menyuntikkan virus flu jenis baru yang jauh lebih mematikan daripada virus H5N1 dan H1N1 yang pernah menyerang penduduk dunia pada tahun 1918 dan 2009. Lebih dalam lagi, film ini menggambarkan bagaimana dunia bersikap lewat representasi dari empat sub-plot yang berbeda dalam film ini; seorang kepala keluarga yang kehilangan istri dan anak tirinya karena virus tersebut, seorang dokter dan tim CDC, seorang dokter WHO yang menginvestigasi ground zero penyebaran virus, dan seorang blogger yang memantau perkembangan perkembangan virus lewat kacamata politik dan ekonomi. Semua ini dirangkum menjadi tontonan yang menegangkan sekaligus edukatif dan terang-terangan lewat tangan magis seorang Steven Soderbergh.
Keempat sub-plot yang disajikan dalam film ini benar-benar memberikan gambaran holistik mengenai bagaimana manusia bersikap terhadap kekuatan mematikan yang menyerang dengan cepat, mulai dari level mikro (lingkup keluarga) sampai level makro (badan kesehatan pemerintah dan dunia). Yang menarik adalah bagaimana Scott memasukkan sub-plot seorang blogger yang mengaku sebagai jurnalis yang dengan gigih mencari informasi tentang penyebaran virus ini dari sisi lain dan terang-terangan menjadi pihak oposisi bagi pemerintah dan instansi kesehatan. Blogger ini seakan representasi dari sekelompok masyarakat terpelajar dan sangat terbuka serta ahli menggunakan media maya sebagai jalur keluar-masuk informasi. Dengan media cetak dan elektronik yang cukup mudah dikuasai oleh pemerintah untuk mengontrol penyebaran informasi yang dikhawatirkan mengguncang stabilitas publik, media maya muncul sebagai jalur informasi yang bebas dan murni dari campur tangan siapapun. Ketika kredibilitas pemerintah dan instansi kesehatan dalam bereaksi terhadap pandemi flu dipertanyakan, maka media maya naik ke permukaan sebagai media alternatif untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dari sisi lain. Apalagi semakin naiknya statisik masyarakat yang telah memiliki akses ke internet.
Film yang menyinggung area medis ini tidak memiliki pilihan lain untuk tidak mengurangi istilah medis yang digunakan. Istilah-istilah medis itu memang mau tidak mau harus dikeluarkan, namun bukan berarti penonton yang tidak memiliki latar belakang medis tidak akan mengerti apa yang sedang terjadi di layar. Dengan cepatnya adegan dan jalan cerita berpindah, kelompok penonton tadi akan dengan mudah pasrah akan istilah medis yang ada seperti seorang pasien yang hanya mengangguk saja mendengar diagnosa dokter. Adegan dan jalan cerita selanjutnyalah yang akan menjelaskan betapa serius dan berbahayanya situasi yang ada lewat gaya bicara yang lain, sambil memanggil kembali penjelasan medis apa yang telah dijelaskan tadi. Bahkan penjelasan-penjelasan medis tersebut akan tetap menempel di ingatan dalam waktu beberapa lama sebagai pengetahuan baru setelah film ini usai. Ya, film ini akan membuat anda langsung buru-buru ingin cuci tangan dengan sabun anti-bakteri setelah keluar dari bioskop!
Empat sub-plot dalam film ini juga dapat dengan mudah memuaskan penonton yang memiliki latar belakang yang sama dengan satu atau lebih dari empat sub-plot tersebut. Seorang kepala keluarga atau pencinta drama keluarga tentu akan mendapatkan penggambaran yang realistis dan tidak berlebihan lewat karakter Mitch Emhoff. Seseorang dari latar belakang medis tentunya akan tersenyum lebar melihat banyaknya istilah medis yang digunakan oleh para dokter dan ahli dari CDC dan WHO. Sedangkan kelompok penonton yang berjiwa pemberontak atau pencinta dunia maya akan merasa terwakili oleh karakter Alan Krumwiede. Tapi maaf bagi pencinta film-film dengan parade visual efek atau aksi-laga karena film ini bukanlah film pre-apocalyptic biasa yang terjebak sebagai penghibur mata dan telinga saja.
Lewat tangan Steven Soderbergh, film ini diarahkan menjadi film drama thriller yang fokus sebagai media edukasi dan penggambaran holistik mengenai pandemi flu yang menyerang dunia. Tidak hanya drama proses tarik-ulur penelitian mencari pasien pertama dan vaksin untuk mencegah flu, tetapi film ini juga menampilkan gambar-gambar grafis jarak dekat lewat adegan bagaimana detik-detik terakhir sebelum seseorang meninggal karena flu mematikan tersebut. Diiringi oleh score menghentak dan berdebar arahan Cliff Martinez, membuat tempo dan pergerakan film ini menjadi cepat dan menegangkan. Ini adalah cara taktis yang ampuh untuk membuat suatu cerita drama dengan banyak dialog menjadi menyenangkan dan menegangkan untuk disimak.
Namun sayang, dengan empat sub-plot yang memiliki perbedaan level penceritaan, menjadikan film ini seakan kehilangan arah. Film ini kurang dapat membawa perasaan personal, walaupun bagian tersebut adalah tanggung jawab si sub-plot kepala keluarga, karena pada sub-plot lain film ini juga menceritakan level makro. Film ini juga tidak serta-merta membuka apa saja yang terjadi pada level pemerintah karena sub-plot CDC/WHO hanya fokus pada penelitian medis belaka. Dengan tidak ada fokus perasaan yang dituju agar penonton merasakan sesuatu, maka film ini "hanya" menjadi media informasi terang-terangan mengenai standar operasi bagi pandemi global.
Disamping kelemahannya, film ini tetap menjadi film yang dapat membuka mata para awam mengenai bagaimana cara kerja CDC/WHO, pemerintah, dan dunia jurnalistik dari berbagai media dalam merespon kekhawatiran global.
USA | 2011 | Drama/Thriller/Sci-Fi | 106 min. | Aspect Ratio 1.85 : 1
Rating?
8 dari 10
-sobekan tiket bioskop tertanggal 1 Desember 2011-
BONUS:
Poster alternatif
Komentar
Posting Komentar