Captain America: The First Avenger
Seorang pahlawan tidak harus terlahir dari seseorang yang memiliki kesempurnaan fisik tipikal pahlawan; berotot, berbadan besar, ganteng, tinggi, dan lain sebagainya. Peter Parker telah membuktikkan hal itu, walaupun selanjutnya laba-laba mutan menggigitnya dan memberikannya kekuatan super. Bruce Wayne dan Tony Stark memang tidak memiliki kekuatan super apapun, namun ia memiliki uang dan teknologi canggih yang mendukung ia untuk menjadi pahlawan kegelapan. Kini ada Steve Rogers, pemuda kurus ceking pendek namun bersemangat tinggi, yang diubah menjadi "Super Soldier" untuk memerangi kejahatan dalam Captain America: The First Avenger.
Tahun 1942 dimana AS terlibat dalam Perang Dunia II, pemuda sakit-sakitan namun memiliki determinasi tinggi Steve Rogers tidak pernah menyerah untuk bergabung menjadi tentara walapun selalu ditolak. Beruntung dirinya bertemu dengan Dr. Erskine yang merekrutnya untuk proyek rahasia yang menciptakan pasukan super. Dibantu oleh Howard Stark, serum Dr. Erskine berhasil memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Steve Rogers. Keberhasilan serum Dr. Erskine menarik minat Johann Schmidt, pemimpin divisi Hydra yang tergabung dalam tubuh Nazi. Walaupun dengan kemampuan fisik maksimum dari seorang Steve Rogers ternyata belum bisa membuat dia dipercaya oleh militer untuk maju ke medan perang. Akhirnya, determinasi dan keberanian dari Steve Rogers membuktikan bahwa militer memerlukan jasa dan sepak terjang dari identitasnya yang baru; Captain America.
Dengan premis cerita sederhana tipikal film-film superheroes; kejahatan melawan kebaikan, film ini cukup menonjol dengan membawa pesan bahwa alih-alih berasal dan ditampilkan dari fisik, namun sejatinya kekuatan berasal dari dalam diri. Pesan ini dibawakan secara konsisten dari awal hingga akhir film yang diproyeksikan melalui pribadi Steve Rogers, yang sadar bahwa secara fisik dirinya bukan apa-apa dibandingkan dengan orang-orang yang telah menjadi tentara, namun niat, semangat, dan keberaniannya jauh lebih besar dibandingkan otot-ototnya. Konsistensi pesan yang dibawakan itu dipadu dengan apik dengan aksi laga yang memanjakan mata serta efek visual yang mengagumkan. Perpaduan apik itu ternyata berimbas pada emosi yang mampu dirasakan oleh penonton, yang tertular dari apa yang tersaji di layar lebar. Apalagi dengan karakter Steve Rogers yang tadinya lemah secara fisik dan membuat dia dikucilkan mempererat kedekatan antara penonton dengan karakter pahlawan kita dengan ketidakberdayaan tersebut.
Emosi yang kuat dan bukan sekedar aksi laga yang mengagumkan memang tampaknya menjadi standar baru dalam dunia film superheroes. Mungkin hanya faktor itulah yang membuat sebuah film superheroes menjadi lebih menonjol dan berisi. Ironman (2008) dan The Dark Knight (2008) tahu benar akan hal tersebut, apalagi X-Men: First Class (2011) dengan berani menambahkan elemen psikologis dan politik ke dalam formula superheroes-nya. Kali ini, seorang pahlawan yang memimpin negaranya memenangi perang melawan Nazi dengan latar belakang inferior dan ketidakberdayaan memperpanjang daftar tersebut.
Apalagi film ini adalah satu dari rangkaian mega-proyek Marvel untuk mengumpulkan beberapa superheroes-nya ke dalam satu film; The Avengers yang akan dirilis tahun depan. Oh ya, Captain America adalah karakter pahlawan dengan universe yang sama dengan film Iron Man (2008) dan sekuelnya (2010), The Incredible Hulk (2008), dan Thor (2011). Dengan kata lain, film ini memiliki kesinambungan dalam kadar tertentu dengan film-film tersebut. Gue cukup terhibur melihat ada karakter Howard Stark, ayah dari Tony Stark, yang memiliki andil besar dalam film ini. Diperankan dengan baik oleh Dominic Cooper, Howard Stark cukup menghibur penonton setiap kali dirinya tampil di layar dengan gerak tubuh serta dialog-dialognya yang usil dan mengundang senyum.
Akting dari setiap pemerannya pun sangat mendukung kekuatan karakter dari film ini. Bukan hal baru bagi seorang Chris Evans untuk memerankan karakter yang memiliki kekuatan super, walaupun dalam film sebelum-sebelumnya penampilannya harus berbagi dengan karakter lain (Scott Pilgrim, Fantastic Four). Jujur gue sangat biasa saja melihat penampilan macho dari Chris Evans, yang kemudian menjadi lebih baik ketika ia menggunakan kostum Captain America-nya. Perhatian gue malah tertuju pada Hugo Weaving, yang tampaknya selalu brilian dalam memerankan karakter antagonis. Sebagai Johann Schmidt si pimpinan Hydra, gue cukup terkesima mengalami kuat dan ngerinya karakter dia sepanjang film. Ternyata make-up tebal tidak melunturkan kekuatan ekspresi dari seorang Hugo Weaving. Gaya bicaranya dalam karakter Agen Smith di Trilogi The Matrix saja telah mengundang kengerian tersendiri, apalagi kali ini diperkuat dengan aksen Jerman yang sangar itu. Wuih!
Dalam film ini, sosok wanita yang tipikal mendampingi seorang pahlawan jatuh pada aktris Inggris berbakat; Hayley Atwell. Namanya juga sosok pemanis, yang membuat penonton laki-laki menganga begitu karakternya tampil di layar. Sayang, sifat macho yang ditunjukkan di awal film untuk memudarkan kesan pemanis, tidak bertahan konsisten sampai akhir film. Sekali lagi, Hollywood lebih suka karakter feminim yang tidak berdaya untuk mendampingi karakter macho dan penuh adrenalin. Oya, pujian juga patut diarahkan kepada aktor-aktor senior yang praktis mendapat porsi yang lumayan sedikit; Tommy Lee Jones, Stanley Tucci, dan Toby Jones.
Satu hal yang gue suka dalam film ini adalah art direction-nya yang sangat berhasil dalam menciptakan atmosfer tahun 40-an. Kostum, latar, make-up, tata rambut, sampai pada tone warna yang digunakan, sangat mendukung suasana oldies dan classy. Belum lagi dengan berbagai adegan ledakan yang ada, film ini mampu untuk menggunakan banyak practical effects ketimbang efek CGI yang biasa digunakan oleh film-film superheroes. Berbicara tentang visual, versi 3D dari film ini memang produk post-conversion, dalam arti film ini disyuting menggunakan kamera 2D biasa kemudian dikonversikan ke dalam bentuk 3D dengan persepsi kedalaman. Tidak seperti film-film post-conversion 3D kebanyakan, sutradara Joe Johnston telah mempersiapkan sebelumnya bahwa akan ada adegan-adegan yang akan dibuat persepsi kedalaman di proses konversi nantinya. Persiapan ini adalah langkah brilian untuk memperkuat persepsi kedalaman di proses konversi walaupun adegan hanya disyuting menggunakan kamera 2D. Selain itu, pembuat film juga sengaja menaikkan intensitas cahaya dan warna yang digunakan dalam versi 3D, untuk memberikan hasil maksimal pada penonton yang menggunakan kacamata 3D. Hal ini adalah pembelajaran dari penyakit film-film 3D yang cahaya dan warnanya menjadi kurang terlihat ketika penonton menggunakan kacamata 3D yang gelap itu di dalam bioskop.
Tapi menurut gue, film ini bukan tanpa cacat. Sisi emosi yang dibangun dengan baik selama pertengahan pertama film memang memuaskan, tapi sayang masih banyak dialog-dialog klise khas fiilm-film remaja. Ada beberapa dialog yang menurut gue kurang penting untuk dilakukan, namun rasanya menjadi ciri khas Hollywood; seperti berciuman dulu sebelum melakukan final act. Selain itu, menurut gue scoring dalam film ini terlalu berlebihan di beberapa adegan. Adegan membuka amplop saja diiringi oleh score layaknya seorang pembunuh berdarah dingin yang siap membuka pintu kamar mandi korbannya.
Film superhero yang satu ini memang tidak bisa dibilang lain dari yang lain, mengingat kesederhanaan dalam premis ceritanya. Tapi film ini berpengaruh signifikan untuk menaikkan euforia dan mempersiapkan diri untuk menyambut film The Avengers. Apalagi film ini kuat secara emosional dan cantik secara visual, menjadikan film ini sayang untuk tidak ditonton di bioskop.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 12 September 2011 -
Tahun 1942 dimana AS terlibat dalam Perang Dunia II, pemuda sakit-sakitan namun memiliki determinasi tinggi Steve Rogers tidak pernah menyerah untuk bergabung menjadi tentara walapun selalu ditolak. Beruntung dirinya bertemu dengan Dr. Erskine yang merekrutnya untuk proyek rahasia yang menciptakan pasukan super. Dibantu oleh Howard Stark, serum Dr. Erskine berhasil memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh Steve Rogers. Keberhasilan serum Dr. Erskine menarik minat Johann Schmidt, pemimpin divisi Hydra yang tergabung dalam tubuh Nazi. Walaupun dengan kemampuan fisik maksimum dari seorang Steve Rogers ternyata belum bisa membuat dia dipercaya oleh militer untuk maju ke medan perang. Akhirnya, determinasi dan keberanian dari Steve Rogers membuktikan bahwa militer memerlukan jasa dan sepak terjang dari identitasnya yang baru; Captain America.
Dengan premis cerita sederhana tipikal film-film superheroes; kejahatan melawan kebaikan, film ini cukup menonjol dengan membawa pesan bahwa alih-alih berasal dan ditampilkan dari fisik, namun sejatinya kekuatan berasal dari dalam diri. Pesan ini dibawakan secara konsisten dari awal hingga akhir film yang diproyeksikan melalui pribadi Steve Rogers, yang sadar bahwa secara fisik dirinya bukan apa-apa dibandingkan dengan orang-orang yang telah menjadi tentara, namun niat, semangat, dan keberaniannya jauh lebih besar dibandingkan otot-ototnya. Konsistensi pesan yang dibawakan itu dipadu dengan apik dengan aksi laga yang memanjakan mata serta efek visual yang mengagumkan. Perpaduan apik itu ternyata berimbas pada emosi yang mampu dirasakan oleh penonton, yang tertular dari apa yang tersaji di layar lebar. Apalagi dengan karakter Steve Rogers yang tadinya lemah secara fisik dan membuat dia dikucilkan mempererat kedekatan antara penonton dengan karakter pahlawan kita dengan ketidakberdayaan tersebut.
Emosi yang kuat dan bukan sekedar aksi laga yang mengagumkan memang tampaknya menjadi standar baru dalam dunia film superheroes. Mungkin hanya faktor itulah yang membuat sebuah film superheroes menjadi lebih menonjol dan berisi. Ironman (2008) dan The Dark Knight (2008) tahu benar akan hal tersebut, apalagi X-Men: First Class (2011) dengan berani menambahkan elemen psikologis dan politik ke dalam formula superheroes-nya. Kali ini, seorang pahlawan yang memimpin negaranya memenangi perang melawan Nazi dengan latar belakang inferior dan ketidakberdayaan memperpanjang daftar tersebut.
gambar diambil dari sini |
Akting dari setiap pemerannya pun sangat mendukung kekuatan karakter dari film ini. Bukan hal baru bagi seorang Chris Evans untuk memerankan karakter yang memiliki kekuatan super, walaupun dalam film sebelum-sebelumnya penampilannya harus berbagi dengan karakter lain (Scott Pilgrim, Fantastic Four). Jujur gue sangat biasa saja melihat penampilan macho dari Chris Evans, yang kemudian menjadi lebih baik ketika ia menggunakan kostum Captain America-nya. Perhatian gue malah tertuju pada Hugo Weaving, yang tampaknya selalu brilian dalam memerankan karakter antagonis. Sebagai Johann Schmidt si pimpinan Hydra, gue cukup terkesima mengalami kuat dan ngerinya karakter dia sepanjang film. Ternyata make-up tebal tidak melunturkan kekuatan ekspresi dari seorang Hugo Weaving. Gaya bicaranya dalam karakter Agen Smith di Trilogi The Matrix saja telah mengundang kengerian tersendiri, apalagi kali ini diperkuat dengan aksen Jerman yang sangar itu. Wuih!
gambar diambil dari sini |
Satu hal yang gue suka dalam film ini adalah art direction-nya yang sangat berhasil dalam menciptakan atmosfer tahun 40-an. Kostum, latar, make-up, tata rambut, sampai pada tone warna yang digunakan, sangat mendukung suasana oldies dan classy. Belum lagi dengan berbagai adegan ledakan yang ada, film ini mampu untuk menggunakan banyak practical effects ketimbang efek CGI yang biasa digunakan oleh film-film superheroes. Berbicara tentang visual, versi 3D dari film ini memang produk post-conversion, dalam arti film ini disyuting menggunakan kamera 2D biasa kemudian dikonversikan ke dalam bentuk 3D dengan persepsi kedalaman. Tidak seperti film-film post-conversion 3D kebanyakan, sutradara Joe Johnston telah mempersiapkan sebelumnya bahwa akan ada adegan-adegan yang akan dibuat persepsi kedalaman di proses konversi nantinya. Persiapan ini adalah langkah brilian untuk memperkuat persepsi kedalaman di proses konversi walaupun adegan hanya disyuting menggunakan kamera 2D. Selain itu, pembuat film juga sengaja menaikkan intensitas cahaya dan warna yang digunakan dalam versi 3D, untuk memberikan hasil maksimal pada penonton yang menggunakan kacamata 3D. Hal ini adalah pembelajaran dari penyakit film-film 3D yang cahaya dan warnanya menjadi kurang terlihat ketika penonton menggunakan kacamata 3D yang gelap itu di dalam bioskop.
gambar diambil dari sini |
Film superhero yang satu ini memang tidak bisa dibilang lain dari yang lain, mengingat kesederhanaan dalam premis ceritanya. Tapi film ini berpengaruh signifikan untuk menaikkan euforia dan mempersiapkan diri untuk menyambut film The Avengers. Apalagi film ini kuat secara emosional dan cantik secara visual, menjadikan film ini sayang untuk tidak ditonton di bioskop.
Rating?
8 dari 10
- sobekan tiket bioskop tertanggal 12 September 2011 -
Ada baca beberapa reaksi yang ga suka film ini, padahal film super hero satu ini lebih genuine dari lainnya apalgi untuk ukuran film blockbuster Hollywood.
BalasHapusSetuju bgt "ciri khas Hollywood; seperti berciuman dulu sebelum melakukan final act”. Hahaha, adegan itu agak lebay juga sih walau enak untuk dinikmati.
Setuju sama kk Mike & Timo, banyak bgt yg ga suka sama Capt Ame ini, padahal kata saya bagus bgt untuk ukuran fun ride superhero movie, yaa dapet B lah. Malah walaupun Thor lebih banyak dipuji, kok kt saya bagusan ini ya drpd Thor? Hehehe
BalasHapusOh iya sekalian blogwalking yah, btw kk Timo gak tinggal di Inggris lg ya?
assiikk.. salam blogger om mikhael dan om daniel..
BalasHapusjuga sobekan tiket...
@Daniel Putra: iya, sudah kembali ke tanah air kok. sedih sih, cakrawala pandang film-film bioskop jadi menurun drastis ;p
BalasHapus