Gambaran Paranoia Kolonial lewat Waiting for the Barbarians
Di sebuah kota kecil di perbatasan, seorang hakim (Mark Rylance) mencoba bersikap tenang dalam menyambung Kolonel Joll (Johnny Depp) dari ibukota kekaisaran. Kedatangan kolonel tersebut dengan maksud ingin turun tangan untuk menyelidiki dan menangani rumor bahwa suku barbar di luar perbatasan akan melakukan pemberontakan. Sebuah rumor yang tidak berdasar menurut pengalaman sang hakim, karena di kota kecil multietnis tersebut tidak pernah sekalipun terjadi kejahatan.
Tidak sampai hati melihat para tahanan disiksa sampai mati, sang hakim menyelamatkan seorang gadis yang menjadi buta akibat siksaan para polisi. Kemudian sang hakim pun tergerak untuk menyelamatkan si gadis, antara menyambutnya dalam rumah untuk menemani kesendirian atau mengembalikannya ke suku aslinya di luar sana.
Mungkin pilihan latar anonim ini untuk menyampaikan pesan bahwa diskriminasi ras dan kolonialisme dapat terjadi di mana saja. Dengan anonimnya latar dan waktu suatu kisah, maka akan dengan mudah untuk merepresentasikannya dengan latar dan waktu manapun. Coetzee sendiri menegaskan bahwa kisah yang ditulisnya adalah sebuah cerminan kaum penindas dan tertindas di negeri kelahirannya Afrika Selatan yang digulirkan dengan sistem apartheid.
Benar saja, visual dari film ini sangat apik. Berlokasi syuting di Maroko, gurun pasir dan bangunan rumah khas kota kecil perbatasan menjadi sangat cantik dibingkai dalam layar. Pengalaman audio visual yang enak dipandang. Apalagi dengan cara bertutur cerita yang lamban dan minim dialog, seakan ingin menghidupkan atmosfer kota kecil di perbatasan yang sepi dan sunyi.
Menarik memang melihat tiga aktor yang sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya ini berada dalam satu layar. Apalagi ketika mereka beradu akting satu dengan yang lain, yang membuat saya seakan bersorak-sorai menonton pertandingan sepak bola laga bintang. Mereka bertiga tampil dengan ciri khas masing-masing, tanpa terlihat menonjol antara satu dengan yang lain.
Film drama ini diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh novelis John Maxwell Coetzee, yang juga terlibat dalam penulisan naskah filmnya. Yang menarik adalah, sama seperti dalam novelnya, latar film ini dibuat tanpa menyebut lokasi manapun. Namun jika anda jeli, maka kota kecil di perbatasan yang ada dalam film ini berada di kisaran Asia Tengah dengan latar waktu antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Jika diperhatikan lebih lanjut, kisah yang ditulis Coetzee bisa dilihat sebagai representasi dari politik apartheid di Afrika Selatan, dalam bentuk yang universal. Kolonel Joll yang paranoid terhadap pemberontakan kaum barbar, bisa dibilang sebagai penggambaran situasi pemerintah Afrika Selatan pada tahun 1970-an yang mengalami paranoia terhadap isu dalam dan luar negeri.
Menonton Waiting for the Barbarians ini memang menjadi pengalaman nonton yang inspiratif. Banyak hal yang bisa dipetik untuk dimaknai, untuk kemudian dijadikan pembelajaran mengenai kehidupan sosial bermasyarakat. Apalagi didukung oleh deretan aktor yang tidak hanya terkenal, tetapi juga berkualitas.
Kedatangan Kolonel Joll yang bengis pun membuat situasi di kota kecil tersebut tidak lagi sama. Beberapa tahanan disiksa hingga dipaksa mengakui bahwa suku mereka akan menyerang kekaisaran. Berdasarkan pengakuan yang dipaksa tersebut, Kolonel Joll pun pergi dengan pasukan polisinya ke luar perbatasan untuk menangkap penduduk nomaden yang dicap sebagai suku barbar.
Tidak sampai hati melihat para tahanan disiksa sampai mati, sang hakim menyelamatkan seorang gadis yang menjadi buta akibat siksaan para polisi. Kemudian sang hakim pun tergerak untuk menyelamatkan si gadis, antara menyambutnya dalam rumah untuk menemani kesendirian atau mengembalikannya ke suku aslinya di luar sana.
Melihat Johnny Depp dan Robert Pattinson dalam satu film untuk beradu akting, ini menjadi satu-satunya alasan saya untuk tertarik nonton Waiting for the Barbarians. Apalagi film ini dipimpin oleh tokoh utama yang diperankan oleh Mark Rylance yang namanya melejit dan meraih piala Oscar sejak Bridge of Spies (2015). Sutradara Ciro Guerra memang menjadikan film ini sebagai debut film berbahasa Inggrisnya, tetapi yang ciamik adalah nama dari sinematografer Chris Menges yang sudah meraih dua piala Oscar lewat The Killing Fields (1984) dan The Mission (1986).
Mungkin pilihan latar anonim ini untuk menyampaikan pesan bahwa diskriminasi ras dan kolonialisme dapat terjadi di mana saja. Dengan anonimnya latar dan waktu suatu kisah, maka akan dengan mudah untuk merepresentasikannya dengan latar dan waktu manapun. Coetzee sendiri menegaskan bahwa kisah yang ditulisnya adalah sebuah cerminan kaum penindas dan tertindas di negeri kelahirannya Afrika Selatan yang digulirkan dengan sistem apartheid.
Benar saja, visual dari film ini sangat apik. Berlokasi syuting di Maroko, gurun pasir dan bangunan rumah khas kota kecil perbatasan menjadi sangat cantik dibingkai dalam layar. Pengalaman audio visual yang enak dipandang. Apalagi dengan cara bertutur cerita yang lamban dan minim dialog, seakan ingin menghidupkan atmosfer kota kecil di perbatasan yang sepi dan sunyi.
Menarik memang melihat tiga aktor yang sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya ini berada dalam satu layar. Apalagi ketika mereka beradu akting satu dengan yang lain, yang membuat saya seakan bersorak-sorai menonton pertandingan sepak bola laga bintang. Mereka bertiga tampil dengan ciri khas masing-masing, tanpa terlihat menonjol antara satu dengan yang lain.
Film drama ini diangkat dari novel berjudul sama yang ditulis oleh novelis John Maxwell Coetzee, yang juga terlibat dalam penulisan naskah filmnya. Yang menarik adalah, sama seperti dalam novelnya, latar film ini dibuat tanpa menyebut lokasi manapun. Namun jika anda jeli, maka kota kecil di perbatasan yang ada dalam film ini berada di kisaran Asia Tengah dengan latar waktu antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Jika diperhatikan lebih lanjut, kisah yang ditulis Coetzee bisa dilihat sebagai representasi dari politik apartheid di Afrika Selatan, dalam bentuk yang universal. Kolonel Joll yang paranoid terhadap pemberontakan kaum barbar, bisa dibilang sebagai penggambaran situasi pemerintah Afrika Selatan pada tahun 1970-an yang mengalami paranoia terhadap isu dalam dan luar negeri.
Menonton Waiting for the Barbarians ini memang menjadi pengalaman nonton yang inspiratif. Banyak hal yang bisa dipetik untuk dimaknai, untuk kemudian dijadikan pembelajaran mengenai kehidupan sosial bermasyarakat. Apalagi didukung oleh deretan aktor yang tidak hanya terkenal, tetapi juga berkualitas.
Jangan khawatir untuk ketinggalan, karena Waiting for the Barbarians yang rilis serentak di seluruh dunia tanggal 7 Agustus 2020 ini bisa ditonton secara legal di layanan streaming bioskop eksklusif Mola TV. Platform digital ini dapat diakses lewat desktop maupun mobile, dengan cara registrasi yang sangat mudah. Biaya layanan perbulannya pun sangat terjangkau, hanya Rp 12.500 saja anda dapat menonton deretan film apik yang telah dikurasi secara khusus. Yang mau nonton, bisa langsung klik di sini.
----------------------------------------------------------
review film waiting for the barbarians
review waiting for the barbarians
waiting for the barbarians movie review
waiting for the barbarians film review
resensi film waiting for the barbarians
resensi waiting for the barbarians
ulasan waiting for the barbarians
ulasan film waiting for the barbarians
sinopsis film waiting for the barbarians
sinopsis waiting for the barbarians
cerita waiting for the barbarians
jalan cerita waiting for the barbarians
----------------------------------------------------------
review film waiting for the barbarians
review waiting for the barbarians
waiting for the barbarians movie review
waiting for the barbarians film review
resensi film waiting for the barbarians
resensi waiting for the barbarians
ulasan waiting for the barbarians
ulasan film waiting for the barbarians
sinopsis film waiting for the barbarians
sinopsis waiting for the barbarians
cerita waiting for the barbarians
jalan cerita waiting for the barbarians
gw udah nonton dan masih bingung bagian akhir film itu debu banyak apaan ya ?
BalasHapuskalau gw liatnya pasukkan berkuda
BalasHapus