Postingan

Latest Review

Heretic - Review

Gambar
Ini dia film thriller yang sudah gue tunggu-tunggu. Apalagi baru kali ini Hugh Grant membawakan peran antagonis. Ditambah lagi dengan plot cerita yang terbilang cukup unik; membahas keterikatan manusia terhadap agama dicampur dengan plot slasher / gore. Ciamik! Ternyata Heretic membahas keterikatan manusia terhadap agama bukan hanya sebagai latar belakang kisah thriller, tapi justru sebagai fokus utama film ini! Di 15 menit pertama film ini saja langsung tancap gas membahas tentang filosofi dan agama. Dialogue heavy dan isinya saling menanggapi tentang apakah kita manusia harus beragama atau tidak. Meski konteks yang dibahas adalah Mormon, tapi gue rasa dialog-dialog ini bisa diimplementasikan ke semua agama. Gue kira segmen perdebatan soal agama ini hanya di awal film saja untuk membangun atmosfer film. Tapi ternyata segmen perdebatan ini merata ada di tengah bahkan akhir film. Memang fokus utama film ini membahas filosofi agama, dan sangat bagus untuk jadi bahan permenungan dan pemik

Gladiator II - Review

Gambar
Sebagai fans dan penonton film Gladiator (2000), gue sama sekali nggak mengharapkan akan ada sekuelnya 24 tahun kemudian. Gue rasa film pertamanya sudah ditutup dengan megah dan terhormat, serta mampu membawa pulang 5 piala Academy Awards termasuk Best Picture dan Best Actor. Jadi rasanya film keduanya akan sangat sulit menyainginya. Beberapa hari sebelum nonton Gladiator II, gue nonton ulang film pertamanya untuk sekedar mengingatkan kembali jalan cerita yang ada. Tapi ternyata ini adalah keputusan yang salah, karena plot cerita Gladiator II sama persis plek ketiplek dengan film pertamanya. Di 30 menit pertama, pergerakan plot sangat mirip dengan film pertamanya. Mulai dari adegan perang besar, lalu karakter utama diambil sebagai budak, lalu dijadikan gladiator di arena kecil, sampai bertarung di arena Colosseum. Meski memang di paruh akhir film agak berbeda dengan plot twist dari karakter Denzel Washington, tapi punya garis besar yang mirip dengan film pertamanya; mencoba menggulingk

The Paradise of Thorns - Review

Gambar
Wah ini dia, film Thailand terbaik yang gue tonton di tahun 2024. Bahkan gue lebih suka The Paradise of Thorns ketimbang How to Make Millions Before Grandma Dies . Film ini kaya Killers of the Flower Moon versi Thailand, sama-sama tentang perebutan rumah dan tanah dengan cara pernikahan. Meski kalau Killers of the Flower Moon adalah konflik antara penduduk asli dengan pendatang, maka di The Paradise of Thorns adalah konflik horizontal antar warga dari kelas sosial-ekonomi bawah. Kisahnya sangat merakyat dan sangat bisa ditemukan di keseharian kita. Tentang Thongkam yang menikah dengan sesama laki-laki, Sek, tapi tidak sah di mata hukum karena Thailand baru melegalkan same-sex marriage di tahun 2025. Permasalahan muncul ketika Sek meninggal, kemudian ibu dan anak asuhnya datang untuk mengklaim rumah dan kebun durian yang memang atas nama Sek. Sementara Thongkam tidak terima karena dia sudah bekerja keras merawat sekaligus melunasi pinjaman untuk membeli rumah dan kebun durian tersebut

Flow - Review

Gambar
Gue cukup beruntung punya kesempatan buat nonton film animasi asal Latvia yang sedang dipuja-puja oleh para sinefil ini. Film animasi ini termasuk unik karena sepanjang durasi 1 jam 24 menit tidak ada dialog sama sekali. Tidak ada manusia juga karena memang film ini fokus pada kisah bertahan hidup para hewan dari banjir besar. Memang film animasi ini punya kekuatan utama di visualnya yang luar biasa cantik. Gue belum pernah melihat teknik animasi seperti ini; tiga dimensi tapi punya efek watercolor. Apalagi animasi air yang terlihat lumayan nyata. Selain mata, untuk hiburan telinga juga luar biasa karena "voice actor" dari para karakter hewan ini adalah hewan beneran. Jadi benar-benar suara kucing, capybara, lemur, dan anjing yang mengisi suara karakter-karakter ini. Kisahnya sekilas mirip dengan Life of Pi (2012), sama-sama tentang bertahan hidup dalam kapal kecil dengan spesies lain. Kalau di Life of Pi hanya ada 2 spesies yaitu manusia dan harimau, di Flow ada banyak spesi

Emilia Perez - Review

Gambar
Gue pernah bilang kalau kombinasi genre musical dan crime itu nggak cocok ketika nonton Joker: Folie a Deux , tapi ternyata gue salah semenjak nonton Emilia Perez. Yes ternyata memang genre musical campur crime itu bisa jadi film yang bagus. Mungkin perpaduan musical dan crime harus punya nyawa feminin ya untuk jadi sebuah film musikal yang berkualitas. Bahkan film Emilia Perez berhak menyandang bintang lima dari gue, lewat jalan ceritanya yang unik, segmen musikal yang sinematik, dan visualnya yang cantik. Plot ceritanya sendiri sangat menarik; seorang pengacara yang membantu bos kartel untuk operasi kelamin dari pria menjadi wanita. Gue sama sekali nggak nyangka akan nonton film queer, tapi punya kisah drama yang menghangatkan hati. Menjadi seorang Caitlyn Jenner (asal punya banyak uang) memang mudah, tapi ketika punya masa lalu sebagai bos kartel yang punya banyak musuh pasti akan mempersulit hidup meski sudah berganti kelamin. Oya, satu lagi keunikan film ini, sutradara dan rumah p

Here - Review

Gambar
Ini dia film paling unik di tahun ini, film yang sepanjang 1 jam 44 menit kameranya tidak bergerak dan merekam segala kejadian dari satu sudut pandang saja. Karena ruang yang tidak bergerak, maka waktu yang bergerak bebas. Mulai dari jaman dinosaurus (yes lo nggak salah baca) sampai dengan masa kini. Ternyata memang satu tempat dan lokasi menyimpan sejuta kenangan yang menarik untuk di eksplorasi. Sebenarnya Here adalah kisah keluarga kelas menengah yang jadi representasi banyak orang. Memang film ini punya alur cerita yang maju mundur, tapi linimasa lain hanya jadi kisah sampingan. Sementara kisah utamanya ada di karakter yang diperankan Tom Hanks dan Robin Wright. Kita mengikuti bagaimana kisah hidup Richard dan Margareth mulai dari lahir, kecil, remaja, hinggak menikah.  Hal yang cukup menyentil gue adalah bagaimana dua karakter ini harus mengesampingkan mimpi dan hobinya untuk bertahan hidup. Sejak kecil dan remaja Richard punya bakat melukis, tapi bakat tersebut harus dikesampingk

Venom: The Last Dance - Review

Gambar
Akhirnya kisah trilogi Venom dan Eddie Brock berada di film ketiga atau di penghujung jalan. Setelah Venom (2018) dan Venom: Let There Be Carnage (2021), film terakhir ini berjudul Venom: The Last Dance yang bercerita tentang serangan makhluk alien yang ingin membunuh para simbiot. Kalau di film keduanya, fans dihibur oleh kemunculan Carnage, maka film ketiganya ini akan muncul berbagai variasi Venom termasuk She-Venom. Tampaknya memang trilogi Venom ini tidak menitikberatkan pada kualitas naskah dan hanya fokus pada sisi hiburan saja. Film ketiga ini tampak seperti film yang dibuat tahun 90-an. Bagaimana Venom yang punya keinginan pergi ke New York dan mau melihat patung Liberty, rasanya plot ini sudah terlalu basi di tahun 2024 ini. Meski sebenarnya wajar saja jika ada turis yang baru pertama kali ke AS dan ingin melihat patung Liberty. Tapi sebuah film pahlawan anti-hero super ingin melihat patung Liberty? Hmmm. Selain itu, penonton memang dihibur oleh kemunculan berbagai bentuk Ve

Tebusan Dosa - Review

Gambar
Setelah  Istirahatlah Kata-Kata  (2016) dan  The Science of Fiction  (2019) yang mengorbitkan nama almarhum aktor Gunawan Maryanto, sutradara dan penulis naskah Yosep Anggi Noen kembali lagi meski baru kali ini memproduksi film horor. Tebusan Dosa juga jadi film horor pertama bagi rumah produksi Palari Films. Bercerita tentang seorang ibu yang sedang berduka sekaligus mencari anak perempuannya yang hilang di sungai. Sebenarnya Tebusan Dosa punya kisah horor yang menarik, dan menjadi horor yang langka di mana menempatkan sosok hantu yang baik dan membantu karakter utamanya. Kisahnya juga menempatkan investigasi sebagai plot utamanya untuk mencari di mana si anak perempuan yang hilang. Tapi sayang eksekusi horornya cenderung lemah dan membosankan. Setiap kemunculan hantu yang sebenarnya sudah menyeramkan, merasa harus ditambah dengan efek suara yang keras dan mengagetkan - tapi malah jadi mengganggu. Jalan ceritanya sendiri tampak terseok-seok. Kisah investigasinya memang punya red herri

The Shadow Strays - Review

Gambar
The Raid 2 Berandal minggir dulu, The Shadow Strays mau lewat!   Wah gue lebih suka The Shadow Strays sih ketimbang dwilogi The Raid, terutama The Raid 2 Berandal yang sama-sama film aksi di tengah dunia kriminal dan politik Indonesia. The Shadow Strays jelas masuk dalam klub eksklusif film action brutal dari Indonesia. Nggak hanya penuh koreografi cantik dan gahar, adu tembak berdaya ledak tinggi, tapi juga lengkap dengan gore dan slasher penuh darah a la Timo Tjahjanto.   Rasanya butuh 5 film dan 6 tahun setelah The Night Comes for Us (2018) agar Timo menyempurnakan arahannya di film aksi yang brutal dan berdarah-darah. Kali ini, The Shadow Strays punya jalan cerita yang jauh lebih sederhana dan to the point. Plotnya memang tipikal film aksi dari Hollywood; seorang pembunuh bayaran yang mengalami dilema moral untuk mengambil nyawa manusia tanpa kompas moral yang pasti. Fight choreography-nya nggak hanya keren dan berdarah-darah, tapi punya keindahan tersendiri di setiap gerakan.  P

Smile 2 - Review

Gambar
Rasanya salah juga gue menaruh rendah ekspektasi pada Smile 2, karena sudah terlanjut memberi cap negatif pada film-film sekuel. Tapi ternyata sterotipe tersebut nggak bisa disematkan pada Smile 2, yang malah jadi film horor yang jauh lebih seram dan mengerikan ketimbang film pertamanya. Smile 2 bergabung dalam barisan sekuel film horor yang kualitasnya meningkat dan lebih baik seperti Alien: Romulus dan The First Omen . Smile 2 memang melanjutkan jalan cerita yang ada dari film pertamanya, tapi hanya sedikit sekali. Bisa dibilang, kalau pun nggak nonton film pertamanya masih bisa menikmati film keduanya ini. Smile 2 punya jalan cerita yang mirip dengan film pertamanya, tapi dengan skala yang lebih besar dan punya efek ledak yang jauh lebih dahsyat. Elemen horor yang ada pun masih membawa ciri khas dari film pertamanya; minim jump scare tapi memberikan atmosfer creepy yang perlahan namun pasti. Efek horor nonton film ini bukan terhentak kaget, tapi merinding sampai ke bulu kuduk. Ya m